Halaman

Minggu, 10 Januari 2021

KETENTUAN SHOLAT JUM’AT

(Materi Daring Fikih untuk kelas VII Semester Genap di MTsN 1 Malang)


 1.  Pengertian sholat jum’at

Shalat  jum`at  adalah  shalat  dua rakaat yang  wajib  dikerjakan  pada  waktu  dzuhur  di  hari  Jum`at yang diawali dengan dua khutbah dengan syarat dan rukunnya.

Dasar hukum shalat jum`at : QS. Al-Jum`ah: 9

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui

Di samping mendatangkan pahala, shalat jum’at juga menjadi pembersih dosa antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya, sebagaimana hadits Nabi saw:

عن سَلْمَان الْفَارِسِيّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : » مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَتَطَهَّرَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ثُمَّ ادَّهَنَ أَوْ مَسَّ مِنْ طِيبٍ ثُمَّ رَاحَ فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَصَلَّى مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ إِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ أَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى . رواه البخار

 Artinya

Dari Salman Al Farisi radhiyallohu anhu berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya kemudian memakai wewangian lalu menuju ke mesjid dimana dia tidak memisahkan antara dua orang (yang duduk di mesjid) lalu dia shalat sesuai dengan yang ditetapkan Allah (sekemampuannya) kemudian jika imam keluar dari tempatnya untuk berkhutbah dia diam mendengarkan khutbah niscaya akan diampuni dosanya yang terjadi diantara kedua Jumat” (HR. Bukhari)

Melaksanakan shalat jum’at adalah syiar orang-orang saleh, sedangkan meninggalkannya adalah pertanda kefasikan dan kemunafikan yang mengantarkan pada keburukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ المُنَافِقِينَ

Artinya: “Barang siapa meninggalkan tiga sholat jum`at tanpa uzur maka dicatatlah ia sebagai orang munafik

 

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Hendaklah kaum-kaum itu berhenti dari meninggalkan shalat Jumat. Atau ( jika tidak ) Allah pasti akan mengunci hari mereka, kemudian mereka pasti menjadi orang- orang yang lalai.” [ HR.Muslim ]

 Apabila seseorang ditutup hatinya, dia akan lalai melakukan amalan yang bermanfaat dan lalai meninggalkan hal yang memudharatkan (membahayakan). Hadits ini merupakan peringatan keras terhadap orang yang melalaikan dan meninggalkan  shalat jum’at. Juga menunjukkan bahwa meninggalkannya adalah faktor utama seseorang akan diabaikan oleh Allah  swt.  Melaksanakan  shalat  jum`at  hukumnya  wajib  bagi  setiap  muslim  kecuali  empat  golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit

2.  Syarat Wajib Shalat Juma’at

a. Muslim 

Dengan demikian, orang kafir tidak diwajibkan melaksanakan shalat jum’at, bahkan jika mengerjakannya tidak dianggap sah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman at-Taubah: 54

  وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

Artinya

“dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.”

 Apabila Allah swt tidak menerima infak orang kafir padahal manfaatnya sangat luas, tentu ibadah yang manfaatnya terbatas (untuk pelaku) lebih tidak diterima.

 b. Baligh

Anak kecil yang belum baligh tidak wajib shalat jum’at karena belum dibebani syariat. Meskipun demikian, anak laki-laki yang sudah mumayyiz (biasanya berusia tujuh tahun lebih), dianjurkan kepada walinya agar memerintahnya menghadiri shalat jum’at. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ

Artinya: “Perintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat apabila sudah berumur tujuh tahun.” (HR. Abu Dawud)

 c. Berakal

Orang yang tidak berakal (gila) secara total berarti dia bukan orang yang cakap untuk diarahkan kepadanya perintah syariat atau larangannya. Nabi saw bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Pena terangkat dari tiga golongan: dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia dewasa, dan dari orang gila sampai dia (kembali) berakal sehat.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi)

 d. Laki-laki, merdeka, dan sehat

Maka dari itu, tidak wajib shalat jum’at atas perempuan, sebagaimana sabda Nabi saw.

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Jum’atan adalah hak yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim secara berjama’ah, kecuali empat orang: budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang sakit.” (HR. Abu Dawud)

 

e. Orang yang menetap dan bukan musafir 

Orang musafir termasuk orang yang mendapat rukhsah (keringan) dari Allah untuk tidak melaksanakan puasa. Demikian halnya dengan shalat jum’at. Di antara dalil yang menegaskan bahwa musafir tidak diwajibkan untuk shalat jum’at adalah hadits Jabir  radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan shalat Nabi  Shallallahu ‘alaihi wasallam  di Padang Arafah di hari Jum’at. Jabir   radhiyallahu ‘anhu  mengatakan, “Kemudian (muazin) mengumandangkan adzan lalu iqamah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dhuhur, kemudian (muazdin) iqamah, lalu shalat ashar.” (Shahih Muslim, “Kitabul Hajj” no. 1218)

Adapun tentang musafir yang singgah atau menetap bersama orang-orang mukim beberapa saat, sebagian ulama berpendapat disyariatkannya shalat jum’at atas mereka karena mereka mengikuti orang-orang yang mukim.

 f.  Orang yang ada udzur/halangan mencegahnya untuk menghadiri shalat jum’at

Orang yang memiliki udzur, ada keringanan tidak menghadiri shalat jum’at dan menggantinya  dengan shalat dhuhur. misalnya hujan deras atau angin kencang yang terus-menerus, atau ada kedzaliman yang dikhawatirkannya, atau bisa menggugurkan suatu kewajiban yang tidak ada seorang pun yang bisa menggantikannya, dan sebagainya.

 

3.  Syarat Sah Shalat Jum`at

Adapun syarat sah shalat jum’at adalah sebagai berikut:

a.    Shalat jum’at diadakan dalam satu tempat (tempat tinggal) baik di kota maupun di desa. Tidak sah mendirikan shalat jum’at di tempat yang tidak merupakan daerah tempat tinggal seperti di ladang atau jauh dari perkampungan penduduk.

b.    Shalat jum’at diadakan secara berjama’ah, jumlah jama’ah menurut pendapat sebagian ulama adalah 40 orang laki-laki dewasa dari penduduk negeri setempat.  Sebagian  ulama yang lain berpendapat lebih dari 40 jama’ah dan sebagian ulama yang lain berpendapat cukup dengan dua orang saja, karena sudah berarti berjama’ah.

c.    Hendaklah dikerjakan pada waktu dhuhur. Rasulullah saw. bersabda:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ

"Dari Anas bin Malik ra., Rasulullah saw. bersabda: Shalat jum’at ketika telah tergelincir matahari." (H.R. Bukhari).

d.    Hendaklah dilaksanakan setelah dua khutbah. Hadits tentang khutbah ini menyatakan sebagai berikut: Dari Ibnu Umar ra;

 كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ

Rasulullah saw berkhutbah pada hari Jumat dua khutbah dengan berdiri dan beliau duduk di antara kedua khutbah itu."  (H.R. Bukhari dan Muslim)

4.  Rukun Khutbah Jum`at

a.  Hamdalah

Khutbah jumat itu wajib dimulai dengan hamdalah. Yaitu lafad  yang memuji Allah  swt.  Misalnya lafad  alhamdulillah,  atau  innalhamda lillah,  atau  alhmadullah. Pendeknya, minimal ada kata alhamdu dan lafaz Allah, baik di khutbah pertama atau khutbah kedua.

Contoh bacaan:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

 

b.  Shalawat kepada Nabi SAW

Shalawat kepada nabi Muhammad SAW harus dilafadkan dengan jelas, paling tidak ada kata shalawat. Misalnya  ushalli ‘ala Muhammad, atau  as-shalatu ‘ala Muhammad, atau ana mushallai ala Muhammad.

Contoh bacaan:

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ

c.  Wasiat taqwa

Yang dimaksud dengan  wasiat  ini adalah perintah atau ajakan atau anjuran untuk bertakwa atau takut kepada Allah SWT. Dan menurut Az-Zayadi, wasiat ini adalah perintah untuk mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan menurut Ibnu Hajar, cukup dengan ajakan untuk mengerjakan perintah Allah. Sedangkan menurut Ar-Ramli, wasiat  itu harus berbentuk seruan kepada ketaatan kepada Allah.

Lafadznya sendiri bisa lebih bebas. Misalnya dalam bentuk kalimat:  “takutlah kalian kepada Allah”. Atau kalimat: “marilah kita bertaqwa dan menjadi hamba yang taat”. Contoh bacaan:

يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

 

Ketiga rukun di atas harus terdapat pula dalam kedua khutbah jum’at itu.

 

d.  Membaca ayat Al-Quran pada salah satunya

Minimal satu kalimat dari ayat Al-Quran yang mengandung makna lengkap. Bukan sekedar potongan yang belum lengkap pengertiannya. Maka tidak dikatakan sebagai pembacaan Al-Quran bila sekedar mengucapkan lafadz:  “tsumma nazhar”. Tentang tema ayatnya bebas, tidak ada ketentuan harus ayat tentang perintah atau larangan atau hukum. Boleh juga ayat Quran tentang kisah umat terdahulu dan lainnya. 

Contoh bacaan, (QS. Al-Baqarah: [2]:148)

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ


Artinya

dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”

 

e.  Doa untuk umat Islam

Pada bagian akhir, khatib harus mengucapkan lafad do’a yang intinya meminta kepada Allah kebaikan untuk umat Islam. Misalnya kalimat:  Allahummaghfir lil muslimin wal muslimat. Atau kalimat Allahumma ajirna minannar

Contoh bacaan do’a penutup:

 

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ

5.  Syarat khutbah  Jum’at

  1. Khutbah dilaksanakan pada waktu dhuhur 
  2. Berdiri jika mampu 
  3. Dengan suara yang keras 
  4. Khatib hendaknya duduk di antara dua khutbah
  5. Khatib menutup aurat 
  6. Berurutan antara khutbah pertama dan kedua 
  7. Berdoa untuk kaum muslimin/muslimat pada khutbah kedua 
  8. Tertib, yakni berturut-turut antara khutbah pertama dengan khutbah kedua

 

Sabda Rasulullah SAW;

Artinya: “Bila Rasulullah saw, berkhutbah, kedua matanya merah, suaranya keras, dan semangatnya tinggi bagai panglima yang memperingatkan kedatangan musuh yang menyergap di kala pagi dan sore”. (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

 

6.  Syarat Khatib Jum`at

Salah satu syarat sahnya mendirikan shalat jum’at ialah harus didahului khutbah oleh khatib dengan ketentuan:

  1. Muslim, baligh, berakal sehat, dan taat beribadah
  2. Mengetahui syarat, rukun dan sunnah khutbah
  3. Suci dari hadats baik badan dan pakaian serta tertutup auratnya
  4. Fasih mengucapkan al-Qur’an dan al Hadits
  5. Memiliki akhlak yang baik, tidak tercela di masyarakat, dan tidak melakukan perbuatan dosa
  6. Berpenampilan baik, rapi dan sopan

 

7.  Sunnah Khutbah Jum’at

  1. Dilakukan di tempat yang lebih tinggi atau di atas mimbar
  2. Memberi salam pada permulaan khutbah jum`at 
  3. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami. 
  4. Di sampaikan dengan kalimat yang jelas, sistematik dan temanya sesuai dengan kondisi yang terjadi.
  5. Materi khutbah hendaklah pendek tidak terlalu panjang, dan shalatnya tidak tergesa-gesa 
  6. Khatib menghadap jama’ah

 

 

8.  Adab Shalat Jum’at

  1. Sebelum berangkat ke masjid, hendaklah terlebih dahulu mandi, memotong kuku dan kumis, berpakaian bersih dan putih, dan memakai wangi-wangian.
  2. Hendaknya berangkat ke  mesjid lebih awal. Dihindari datang sebelum imam sesudah menyampaikan khutbahnya.
  3. Mengisi shaf yang kosong, kemudian mengerjalan shalat “tahiyatul masjid” sebanyak dua raka’at
  4. Memperbanyak dzikir, berdo’a membaca shalawat Nabi atau membaca al-Qur’an sebelum imam naik mimbar.
  5. Mendengarkan khutbah, tidak boleh berbicara, mengingatkan jama’ah yang dan  mengantuk/tidur, sehingga tidak mengetahui isi khutbah

Sabda Rasulullah Saw:

Artinya: “Apabila Anda berkata kepada temanmu, pada hari jum’at “diamlah” padahal imam telah menyampaikan khutbahnya, maka jum’atmu sia-sia”. (HR. Bukhari dan Muslim).

  1. Jama’ah tenang mendengarkan khutbah dan duduk menghadap ke arah kiblat. Dari Muthi’ ibnul Hakam ra, bahwa Nabi saw, bersabda;

 

Artinya:  “Apabila  beliau  naik  mimbar,  maka  kami  menghadapkan  wajah-wajah  kami  ke beliau” (HR. Bukhari Muslim)

  1. Jama’ah  berdo’a  atau  membaca  istighfar  saat  khatib  duduk  di  antara  dua  khutbah. Waktu  di  antara  dua  khutbah  adalah  waktu  ijabah  (waktu  yang  banyak dikabulkannya do’a saat itu). 

 

9.  Tata Cara Pelaksanaan Shalat Jum’at

Kalian selalu melaksanakan shalat jumat, bukan? Sekarang saatnya mengetahui

ketentuan mengenai praktik shalat jum’at. Semoga ibadah shalat jum’at kalian menjadi semakin sempurna. Walaupun shalat jum’at hanya diwajibkan kepada laki-laki, perempuan juga harus mengerti tentang tata cara atau ketentuannya. Pada bagian ini kalian akan berlatih shalat jum’at. 

 

Tata cara pelaksanaan shalat jum’at secara umum adalah sebagai berikut.

  1. Khatib naik ke mimbar mengucapkan salam, muadzin mengumandangkan adzan yang kedua.
  2. Khatib menyampaikan khutbahnya dengan dua kali khutbah diselingi dengan duduk di antara dua khutbah.
  3. Pada saat khutbah dibacakan, jama’ah memperhatikan dengan khusuk, tidak bercakap-cakap, meskipun suara khutbah tidak terdengar.
  4. Setelah selesai khutbah, muadzin mengumandangkan  iqamah, sebagai tanda di mulainya shalat jum’at.
  5. Jama’ah bersiap-siap untuk melaksanakan shalat jum’at.
  6. Sebelum shalat dimulai, imam hendaknya mengingatkan makmum untuk merapatkan dan meluruskan saf serta mengisinya yang masih kosong.
  7. Imam memimpin shalat jum’at berjama’ah dua rakaat.
  8. Jama’ah disunahkan untuk berdzikir dan berdoa setelah selesai shalat jum’at.
  9. Sebelum meninggalkan masjid,  jama’ah disunahkan untuk melaksanakan shalat  ba’diyah terlebih dahulu.

10.  Tata Cara Khutbah Jum’at

Khutbah (pertama)

  1. Khatib berdiri di mimbar sambil mengucapkan salam
  2. Duduk tak kala dikumadangkan adzan
  3. Selesai adzan khatib berdiri dan membaca rangkaian rukun khutbah:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إلَى يومِ الدِّينِ

قَالَ اللهُ تَعَالىَ يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوا اتَّقُواْ اللهَ وَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيْدَا, يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُو بَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمَا.

أَمَّا بَعْدُ ، اُوْصِيْكُمْ وَ نَفْسِىْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

 

Memberi wasiat hendaklah disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dalam memberi wasiat ini hendaklah membaca ayat Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar wasiat dalam menyampaikan khutbah.

  1. Penutup khutbah I (pertama)

Di akhir khutbah pertama ini, marilah kita dekatkan diri kita kepada Allah,  selama masih hidup, manusia senantiasa perlu bertaubat dan istighfar kepada Allah ‘Azza wa Jalla, 

   بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِيِمْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Atau dalam kalimat yang lain:

 

Khutbah II (kedua)

  1. Selesai khutbah pertama khatib duduk sebentar, lalu berdiri untuk khutbah kedua
  2. Boleh menyampaikan kesimpulan khutbah pertama setelah membaca hamdallah, dua kalimat sahadat, dan shalawat atas Nabi Muhammad Saw (seperti pada khutbah pertama di atas).
  3. Setelah itu diakhiri dengan membaca do’a:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

  1. Kalimat penutup khutbah kedua

 عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

 

  1. Khatib turun dari mimbar, dan bersamaan dengan itu muadzin  mengumandangkan iqamah 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar