A. Pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Ijarah
Kata Al-ijarah sendiri berasal dari kata
Al ajru
yang diartikan sebagai Al 'Iwadhu yang mempunyai arti
”ganti”, al-kira`, yang mempunyai arti ”bersamaan” dan al-ujrah yang memiliki arti ”upah”
Pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam
terdapat beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:
1. Para ulama dari golongan Hanafiyah
berpendapat, bahwa al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah
pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud
tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya imbalan.
2. Ulama Mazhab Malikiyah
mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini ada yang diistilahkan
dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk
istilah al-ijarah mereka berpendapat adalah suatu `aqad atau
perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy (manusia) dan benda-benda
bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang, sedangkan untuk al-kira`
menurut istilah mereka, digunakan untuk `aqad sewa-menyewa pada benda-benda
tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah tersebut
kadang-kadang juga digunakan.
3. Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah
adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan
merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan
menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.
4. Hanabilah berpendapat, al-ijarah
adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara` dan
diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit dalam
waktu tertentu dengan adanya `iwadah.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah
dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur
pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan
dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan
yang ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah
atau upah.
B. Definisi Al-Ijarah
Al Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat suatu barang dengan jalan penggantian. Beberapa contoh kontrak ijarah
(pemilikan manfaat) seperti (a) Manfaat yang berasal dari aset seperti rumah
untuk ditempati, atau mobil untuk dikendarai, (b) Manfaat yang berasal karya
seperti hasil karya seorang insinyur bangunan, tukang tenun, tukang pewarna,
penjahit, dll (c) Manfaat yang berasal dari skill/keahlian individu seperti
pekerja kantor, pembantu rumah tangga, dll. Sementara itu, menyewakan pohon
untuk dimanfaatkan buahnya, menyewakan makanan untuk dimakan, dll bukan
termasuk kategori ijarah karena barang-barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan
kecuali barang-barang tersebut akan habis dikonsumsi.
Adapun landasan hukum ijarah dari Al-Qur’an dapat
ditemukan antara lain pada Surah Az-Zuhruf ayat 32, Surah Al-Baqarah ayat 233,
dan Surah Al-Qashash ayat 26 dan 27. Sedangkan landasan hukum yang berasal dari
Hadits Nabi SAW antara lain Hadits Al-Bukhari yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW
pernah menyewa seseorang dari Bani Ad-Diil bernama Abdullah bin Al Uraiqith
sebagai petunjuk jalan yang professional.
Menurut Sayyid Sabiq, Ijarah adalah
suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dengan
demikian pada hakikatnya ijarah adalah
penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan
jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak
guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
C. Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu :
a.
Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu
mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa.
Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir,
pihak pekerja disebut ajir dan
upah yang dibayarkan disebut ujrah.
b.
Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau
properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu
kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing
(sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir,
pihak yang menyewakan (lessor)
disebutmu’jir/muajir dan biaya sewa
disebut ujrah.
Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa
perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk
kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan
syari’ah.
D. Dasar Ijarah
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling
tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep
ini mulai dikembangkan pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya
sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang
melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Dan
sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran
kharaj dan jizyah.
E. Kebolehan
transaksi ijarah didasarkan
Al Qur’an dan hadits
1)
Ayat Al-Qur`an
QS. Al-Baqarah : 233
Artinya :
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
QS. Az-Zukhruf : 32
Artinya :
Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.
QS. Al-Qashash ayat 26 – 27:
Artinya :
Salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (28-26)
Berkatalah dia (Syu’aib) : ”Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak
memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
baik. (28-27)
QS. Al-Kahfi: 77
Artinya :
”Maka keduanya
berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka
minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau
menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah
yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa
berkata: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. 18:77)
2)
Hadist Rasulullah SAW
Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa
Nabi Muhammadsaw. Bersabda :
Artinya : Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya
kering.
v
Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw.
Bersabada :
Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja,
beritahukanlah upahnya.
v Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi
Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada:
Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan
(bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal
tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.
v Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa
Nabi Muhammad saw. Bersabada :
Artinya : Perdamaian
dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.
F.
Syarat ijarah yang
harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut :
a.
Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus
tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
b.
Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab
pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada
penyewa.
c.
Akad ijarah dihentikan pada saat
aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset
tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah
masih tetap berlaku.
d.
Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan
sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual harganya akan
ditentukan pada saat kontrak berakhir.
G. Rukun dan Syarat Ijarah:
- Mu’jir dan Musta’jir,
yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir
adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, sedangkan musta’jir
adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Disyaratkan
pada mu’jir dan musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharuf
(mengendalikan harta), dan saling meridhai. Allah SWT berfirman:
QS. An Nisaa : 29
Artinya:
Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. QS. an-Nisa' (4) : 29
Bagi orang yang berakad
ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan
sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
- Sighat ijab kabul
antara mu’jir dan musta’jir, ijab kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah.
- Ujrah, disyaratkan
deiketahui jumlahnya oleh kedua pihak, baik dalam sewa menyewa ataupun
dalam hal upah-mengupah.
- Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam
upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa
syarat sebagai berikut.
-
Barang yang menjadi objek
sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
-
Benda yang menjadi objek
sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja
berikut kegunaanya (khusus daam sewa-menyewa).
-
Manfaat dari benda yang
disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang
dilarang.
-
Benda yang disewakan
disyaratkan kekal ’ain (zat) nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian
akad.
H.
Ketentuan Obyek
Ijarah:
- Obyek ijarah adalah
manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
- Manfaat barang atau
jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
- Manfaat barang atau
jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
- Kesanggupan memenuhi
manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
- Manfaat harus
dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan
mengakibatkan sengketa.
- Spesifikasi manfaat
harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau
identifikasi fisik.
- Sewa atau upah adalah sesuatu yang
dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat
dijadikan harga (tsaman) dalam
jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
- Pembayaran sewa atau
upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek
kontrak.
- Kelenturan
(flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam
ukuran waktu, tempat dan jarak.
Kewajiban pemberi manfaat barang atau jasa:
1.
Menyediakan barang yang
disewakan atau jasa yang diberikan
2.
Menanggung biaya pemeliharaan barang.
3.
Menjamin bila terdapat
cacat pada barang yang disewakan.
Kewajiban penerima manfaat barang atau jasa:
1.
Membayar sewa atau upah
dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai
akad (kontrak).
2.
Menanggung biaya
pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
3.
Jika barang yang disewa
rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan
karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung
jawab atas kerusakan tersebut.
I. Syarat Ijarah
•
Harus termasuk dari harta yang halal
• Harus diketahui jenis, macam dan satuannya
•
Tidak boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan disewa untuk
menghindari kemiripan riba fadhl
•
Kebanyakan ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang tetapi dalam
bantuk jasa (manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1 minggu dengan
mengajar anaknya matematika selama 1 bulan 8 Kali pertemuan.
Pada prinsipnya
dalam kontrak ijarah harus dikatakan dengan jelas siapa yang menanggung biaya
pemelihraan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan jika kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan
ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena penyewa menangung
biaya yang tidak jelas.
J.
Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis
akad tidak membolehkan adanya fasakh
pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila
didapati adanya hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi fasakh
(batal) bila terdapat hal-hal sebagai berikut:
-
Terdapat cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
-
Barang yang disewakan
hancur atau rusak.
-
Rusaknya barang yang diupahkan, seperti baju yang diupahkan untuk
dijahitkan.
-
Akad ijarah dihentikan pada saat
aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa.
-
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan
dan telah selesai pekerjaan.
-
Salah satu pihak meninggal
dunia (Hanafi); jika barang yang disewakan itu berupa hewan maka kematiannya
mengakhiri akad ijaroh (Jumhur).
-
Kedua pihak membatalkan
akad dengan iqolah.
K.
Pengembalian Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang
sewaan, jika barang tersebut dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkan kepada
pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap, ia wajib
menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu berupa tanah,
ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman,
kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus
melepaskan barang sewaan dan tidak ada keharusan mengembalikan untuk
menyerahterimakan seperti barang titipan.
L.
Lain-lain mengenai Ijarah
1. ”Hal-hal yang
boleh ditarik upahnya
Segala sesuatu yang dapat diambil
manfaatnya dan sesuatu itu yang tetap utuh, maka boleh disewakan untuk
mendapatkan upahnya, selama tidak didapati larangan dari syari’at.
Dipersyaratkan sesuatu yang disewakan itu harus
jelas dan upahnya pun jelas, demikian pula jangka waktunya dan jenis
pekerjaannya.
Allah swt berfirman ketika menceritakan perihal
rekan Nabi Musa as:
“Berkatalah dia (Syu’aib), Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu.” (QS al-Qashash: 27).
Dari Hanzhalah bin Qais, ia bertutur: Saya
pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas
dan perak. Maka jawabnya, “Tidak mengapa, sesungguhnya pada masa Nabi saw
orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di
pematang-pematang (galengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu
yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini
musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, lalu
yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat
dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih).
2. Dosa orang
yang tidak membayar upah pekerja
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw Beliau
bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari kiamat
(kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang
mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki
yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang
laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas
dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan dan Fathul Bari IV:).
3.
Perbuatan yang tidak boleh diambil upahnya
sebagai mata pencaharian
Allah SWT
menegaskan :
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian
karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mulia Pengampun Lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” (QS an-Nuur: 33).
Dari Jabir Abdullah bin Ubai bin Salul
mempunyai dua budak perempuan, yang satu bernama Musaikah dan satunya lagi
bernama Umaimah. Kemudian dia memaksa mereka agar melacur, lalu mereka
mengadukan kasus itu kepada Nabi saw. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu memaksa budak-budak
wanitamu untuk melacur maka adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Shahih: Mukhtashar Muslim dan Muslim).
Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra bahwa
Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah tukang tenung. (Muslim,
‘Aunul Ma’bud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasa’i )
Dari Ibnu Umar ra ia berkata, “Nabi saw
melarang upah persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim, Fathul Bari,
‘Aunul Ma’bud, Tirmidzi dan Nasa’i ).
4.
Upah
membaca Al-QUR’AN
Dari Abdurrahman bin Syibl al-Anshari ra,
ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,
“Hendaklah kalian membaca al-Qur’an, namun
janganlah kamu makan dengan (upah membaca)nya, jangan (pula) memperbanyak
(harta) dengannya, jangan kamu berpaling darinya dan jangan (pula) kalian
berkelebihan dalam (menyikapi)nya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir dan al-Fathur Rabbani ).
Dari Jabir bin Abdillah ra, ia berkata :
Rasulullah saw pernah pergi menemui kami yang sedang membaca al-Qur’an, sedang
di antara kami ada yang berkebangsaan Arab dan ada pula non Arab. Kemudian
Beliau bersabda, “Bacalah (al-Qur’an); karena setiap (huruf) (pahalanya)
satu kebaikan; dan akan ada sejumlah kaum yang berusaha meluruskan
bacaan al-Qur’an sebagaimana dibereskannya gelas (yang pecah); mereka
tergesa-gesa untuk mendapat balasannya dan tidak mau menangguhkannya.”
(Shahih: ash-Shahihah dan ‘Aunul Ma’bud).
Ma’na kalimat “Dan akan ada sejumlah kaum
yang berusaha meluruskan bacaan al-Qur’an ini pada mereka yang gigih
memperbaiki lafadz dan kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan memaksa dan
memperhatikan makharijul huruf dan sifat-sifatnya “Sebagaimana dibereskannya
gelas (yang pecah)” yaitu mereka berusaha dengan serius memperbaiki bacaan
karena riya’, sum’ah, prestise, dan populer. “Mereka menangguhkannya, yaitu
mendambakan pahala di akhirat, namun justeru mereka mengutamakan balasan
duniawi balasan yang dijanjikan di akhirat. Mereka ittikal (pasrah tanpa
iktiyar), tidak mau bertawakkal kepada-Nya.
Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa ia pernah
mendengar Nabi saw bersabda, “Pelajarilah al-Qur’an, dan dengannya
mohonlah kepada Allah surga sebelum satu kaum yang mempelajarinya untuk mencari
keuntungan duniawi; karena sesungguhnya al-Qur’an dipelajari oleh tiga kelompok
manusia: (pertama) seorang yang senang berbangga diri dengannya, (kedua)
seorang yang mencari makan dengannya, dan (ketiga) seorang yang membacanya
karena Allah ta’ala.” (Shahih: ash-Shahihah dan Ibnu Nashr meriwayatkannya
dalam Qiyamul lail). ” (www.alislamu.com, Pusat Kajian Islam)
M.
Beberapa contoh Ijarah
Kontemporer
Ijarah adalah akad untuk
memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa atas tenaga kerja. Bila
digunakan untuk mendapatkan manfaat barang, maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan
jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah.
Pada ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah. Objek ijarah
tetap menjadi milik yang menyewakan.
Contoh : Pemilik
kendaraan bermotor menyewakan
kendaraannya dengan memperoleh imbalan uang sewa. Seorang mandor memperoleh
upah dari manfaat tenaga kerja yang diberikan kepada pemilik proyek
·
Ijarah al-Muwazy (Paralel)
Menyewakan barang
kepada pihak ketiga, hukumnya dibolehkan, apabila pemilik barang
mengizinkannya. Apabila pemilik asset tidak mengizinkannya, maka penyewaan
kepada pihak ketiga tidak dibolehkan., Bank syariah dan BMT dapat menjadikan konsep ini sebagai produk.
·
Ijarah Munyahiyah bit Tamlik
IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit
Tamlik. Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama
dengan sewa beli, dan tidak sama pula dengan leasing. Dalam sewa beli, lessee
otomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa. Dalam IMBT, janji pemindahan
kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak
mengikat. Bila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan
kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Sedangkan pada leasing,
kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh
lessee. Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai
transaksi dengan prinsip IMBT paling tidak mempunyai dua pilihan. Pertama,
besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada bank telah
memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa
ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil. Dalam hal
ini, meskipun secara teori fikih dikatakan hukumnya tidak mengikat untuk
memindahkan kepemilikan barang tersebut, namun secara praktik bisnisnya barang
tersebut akan diserahkan kepemilikannya kepada nasabah. Jadi dalam hal ini
pembiayaan IMBT lebih mirip dengan sewa beli dibandingkan dengan leasing. Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang
harus dibayarkan nasabah kepada tidak memasukkan komponen nilai perolehan
barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang
masih tersisa tidak nihil (biasanya disebut nilai residu). Dalam hal ini, bila
nasabah membayar nilai residu tersebut maka bank akan memindahkan
kepemilikannya pada nasabah. Namun bila nasabah belum membayar nilai residunya,
bank belum memindahkan kepemilikan tersebut. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT
lebih mirip dengan leasing dibandingkan dengan sewa beli.
Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk
membiayai perolehan barang modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal
dari pihak lessor, tapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri. Pada
sewa beli, lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang
disewakannya itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya
barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa sendiri. Pada IMBT keduanya
dapat terjadi, menyediakaan barang sewa dengan cara menyewa, kemudian
menyewakannya kembali. Juga dimungkinkan menyediakan barang sewa dengan membeli
kemudian menyewakannya.
Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk
membiayai transaksi dengan prinsip IMBT dapat saja membiayai penyewaan barang
kemudian barang tersebut disewakan kembali, dan dapat pula membiayai pembelian
barang kemudian barang tersebut disewakan. Yang jelas pembiayaan IMBT adalah
penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT
itu sendiri. Terakhir, leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan
sedangkan sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Pembiayaan IMBT
boleh dilakukan oleh bank syariah, sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak
termasuk kegiatan bank syariah.
Fatwa MUI tentang IMBT
•
Pihak yang melakukan
al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih
dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian,
hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
•
Janji pemindahan
kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد),
yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus
ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
N.
Sukuk Ijarah
Sukuk Ijarah merupakan surat berharga yang
merepresentasikan kepemilikan penyertaan atas asset yang disewakan. Sukuk ini
memberikan hak kepada para pemegangnya untuk mendapatkan uang sewa serta hak
untuk mengalihkan kepemilikan berdasarkan penyertaan yang mereka miliki tanpa
mempengaruhi hak si penyewa, dengan kata lain sukuk ini dapat diperjual
belikan. Para pemiliki sukuk menanngungg seluruh biaya perawatan dan kerusakan
dari asset yang dimilki berdasarkan proporsi kepemilikan mereka. (AAOIFI), Secara umum sukuk didefinisikan sebagai sertifikat pertisipasi Islami yang
dapat diperdagangkan berdasarkan kepemilikan dan pertukaran dari asset yang
disepakati bersama
Khusus untuk sukuk
ijarah, kontrak yang mendasarinya adalah ijarah yaitu sewa menyewa (leasing)
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebagaimana ketentuan transaksi
bisnis syariah yang membedakannya dengan ketentuan transaksi bisnis
konvensional, kegiatan sukuk ijarah tidak boleh bertentangan dengan syariah
seperti :
(a) Usaha perjudian
dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (b) Usaha
lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi
konvensional; (c) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan
makanan dan minuman haram; (d) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau
menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat
(Fatwa No. 20 DSN-MUI/IV/2001). Selain itu, keuntungan yang akan dibagikan oleh
penerbit sukuk ijarah harus bersumber dari hasil usaha/pengelolaan sukuk ijarah
itu sendiri.
Untuk dapat
melakukan kontrak sukuk berbasis ijarah, para investor, penerbit sukuk dan
pihak terkait lainnya wajib memenuhi sejumlah persyaratan tertentu. Pertama,
kedua belah pihak yang akan melakukan akad harus berkemampuan dan berakal.
Kedua, akil baligh sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Asy Syafi'i dan
Hambali. Sehingga berakad dengan anak kecil dinyatakan tidak sah. Kemudian,
agar transaksi berbasis ijarah tersebut menjadi sah (valid), diperlukan pula
sejumlah ketentuan tambahan. Pertama, adanya kerelaan kedua belah pihak yang
melakukan akad sebagaimana Firman Allah SWT pada Surah An-Nisa ayat 29. Kedua,
mengetahui secara sempurna manfaat dari barang yang menjadi objek akad antara
lain untuk mencegah terjadinya perselisihan. Ketiga, barang atau asset
yang menjadi objek akad dapat dimanfaatkan sesuai dengan kriteria, realita dan
syara. Imam Hanafi menambahkan bahwa menyewakan barang yang tidak dapat dibagi
(tidak dalam keadaan lengkap) tidak dapat diperbolehkan, sebab manfaat
kegunaannya tidak dapat ditentukan. Keempat, aset tersebut sudah jelas, nyata
dan dimiliki penerbit sukuk sehingga dapat disewakan untuk diambil manfaatnya.
Menyewakan binatang buruan (masih dalam perburuan), tanah tandus atau menyewakan
binatang lumpuh yang tidak dapat diserahkan tidak dibenarkan secara syariah
karena tidak mendatangkan kegunaan yang menjadi obyek dari akad ini. Terakhir,
sewa-menyewa yang dilakukan bukan untuk sesuatu yang diharamkan. Menyewakan
asset yang akan digunakan untuk memproduksi minuman keras, tempat berjudi, dll
tidak dibenarkan dalam syariah dan kontrak ijarah yang dilakukan menjadi ijarah fasid.
Hal terakhir yang
spesifik dan layak diketahui dari sukuk ijarah adalah kontrak ini dapat diperjualbelikan di pasar modal dengan harga yang
ditentukan oleh kekuatan pasar. Kegiatan ekonomi, investasi serta risiko yang berhubungan dengan kesanggupan penyewa untuk
membayar harga sewa serta biaya penjaminan dan pemeliharaan asset menentukan
harga sukuk ijarah di pasar keuangan. Namun demikian, sukuk ijarah
menawarkan suatu bentuk surat berharga yang fleksible dan marketable
dibandingkan jenis sukuk lainnya. (Muhammad Fadlillah}
Berikut ini disajikan
mengenai skema transfer manfaat atas aset yang telah tersedia. Pada saat
perusahaan merencanakan untuk menerbitkan sukuk ijarah, perusahaan terlebih
dahulu menetapkan aset yang akan diijarah-kan. Kemudian, perusahaan menjual
manfaat aset kepada investor. Atas transfer ini, perusahaan memperoleh
pembayaran lumpsum dari investor dan sebaliknya investor memperoleh sertifikat
sukuk ijarah. Pada tahap ini, perusahaan dan investor menandatangani akad
Ijarah, yang memposisikan perusahaan menjadi lessee dan investor menjadi lessor.
Selanjutnya, investor dan perusahaan menandatangani akad Wakalah, yang
berisi bahwa investor memberikan kuasa kepada perusahaan atas manfaat aset
underlying ijarah. Kuasa tersebut, digunakan oleh perusahaan untuk mencari end
customer yang bermaksud untuk menyewa aset underlying ijarah. Hal ini dilakukan
karena perusahaan memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan investor
terhadap industrinya. Setelah menemukan end customer,
perusahaan mentransfer manfaat aset underlying ijarah. Dalam tahap ini seakan-akan peranan perusahaan
adalah
sebagai lessor mewakili investor dan end customer adalah sebagai lessee. End
customer berkewajiban membayar penggunaan asset underlying ijarah. Pembayaran
ini merupakan sumber kupon ijarah yang akan dibayarkan perusahaan selaku lessee
kepada investor selaku lessor.
Skema
sukuk ijarah semacam ini dijumpai di Indonesia khususnya transaksi sukuk ijarah
PT Berlian Laju Tanker (BLT) Tbk. PT BLT Tbk menerbitkan
sukuk ijarah untuk mentransfer manfaat kapal tanker kepada investor. Kemudian
PT BLT Tbk membantu investor untuk
mencari end customer yang berminat untuk menyewa kapal tanker PT BLT Tbk
tersebut. Dari transaksi dengan end customer tersebut, PT BLT Tbk memperoleh
secara berkala, fee sewa yang diteruskan kepada investor sebagai kupon ijarah.
Pada skema ini tidak digunakan SPV karena konsep SPV tidak dikenal dalam rezim
hukum di Indonesia.
Pengurusan Haji
Bank melakukan
pengurusan haji untuk kepentingan nasabah dengan memperoleh ujrah (imbalan
jasa). Dalam pengurusan haji, Bank dapat
memberikan dana talangan pembayaran Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dengan
akad qardh. Jasa pengurusan haji tidak boleh dikaitkan dengan pemberian
talangan haji. Besarnya ujrah tidak
didasarkan pada jumlah talangan haji.
Pembiayaan Multijasa
Pembiayaan yang
diberikan bank kepada nasabah dalam memperoleh manfaat atas suatu jasa. Dalam
rangka pembiayaan multijasa tersebut, bank memperoleh ujrah (imbalan
jasa). Besarnya ujrah disepakati di awal
dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan prosentase.