A. QS. Ali ‘Imran Ayat 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ
لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَا وِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا
عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُتَوَكِّلِيْنَ.
B. Terjemahan
Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
C. Kosa Kata
Secara etimologis, linta terambil dari akar kata al-lin
yang berarti “lemah lembut”, lawan al-khusyunah atau kasar. kata lin
digunakan untuk hal – hal yang maknawi seperti akhlak. Linta berarti
“kamu lemah lembut” ayat 159 ini menjelaskan, hanyalah karena rahmat Allah,
Rasulullah dapat memiliki sikap lemah lembut dan tidak kasar terhadap para
pengikutnya (para sahabat) meskipun mereka melakukan kesalahan dalam perang
uhud, dengan meninggalkan posisi yang strategis di atas bukit, hal ini
menyebabkan kegagalan dipihak kaum muslimin. Dengan sikap ini, orang – orang
yang ada di sekelilingnya tidak akan menjauh dan akan semakin semakin dekat
dengannya.
D. Munasabah / Asbabun Nuzul
Sebab – sebab turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad saw
adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan
bahwasanya setelah terjadinya perang Badar, Rasulullah mengadakan musyawarah
dengan Abu Bakar. ra dan Umar bin
Khathab.ra untuk meminta pendapat meraka tentang para tawanan perang, Abu
Bakar.ra berpendapat, meraka sebaiknya dikembalikan kepada keluargannya dan
keluargannya membayar tebusan. Namun,Umar berpendapat mereka sebaiknya dibunuh.
Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Rasulullah kesulitan dalam
memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar (HR.
Kalabi).[1]
E. Tafsir QS. Ali ‘Imran ayat 159
Menurut Ibnu Kaisan, Maa adalah Maa Nakirah
yang berada pada posisi majrur dengan sebab ba’, sedangkan Rahmatin adalah
badalnya. Maka makna ayat adalah ketika Rasulullah SAW bersikap lemah-lembut
dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap kasar terhadap
mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu dengan sebab
taufik-Nya kepada beliau.[2]
Prof Hamka
Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang
tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak
lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka
lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan
tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus
marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.[3]
Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada
Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut,rasa rahmat, belas kasihan, cinta
kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau,sehingga rahmat itu
pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin meskipun dalam keadaan
genting, seperti terjadinya pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh
sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin
menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah
terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah
untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad saw bersikap keras, berhati kasar
tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.
Disamping itu Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan
mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum
muslimin patuh melaksanakan putusan – putusan musyawarah itu karena keputusan
itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan
berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa menghiraukan bahaya dan
kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena
tidak ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.[4]
M. Quraish Shihab di
dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan Allah kepada Nabi
Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah
lembut Nbi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan
pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu.
Sebenarnya
cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi
manusia untuk marah, namun demikian, cukuo banyak pula bukti yang menunjukan kelemah
lembutan Nabi saw.
Beliau
bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang,beliau menerima usulan
mereka,walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dan mempersalahkan
para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan
halus, dan lain lain.
Jika
demikian, maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana
dipahami dari bentuk infinitif (khusus) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab
yang lain sebagaiman dipahami dari huruf (ما) maa
yang digunakan disini dalam kontek penetapan rahmat-Nya – disebabkan karena
rahmat Allah itu – engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
engkau berlaku keras, buruk perangai, kasar kata lagi
berhati kasar tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu, disebabkan oleh antipati terhadapmu.
Karena perangimu tidak seperti itu maka maafkanlah
kesalahan – kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampunan
kepada Allah bagi mereka atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu, yakni dalam
urusan peperangan daln urusan dunia, bukan urusan syari’at atau agama. Kemudian
apabila engkau telah melakukan hal-hal di atas dan telah membulatkan
tekad, melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakanlah sambil bertawakal
kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakal kepada-Nya, dengan demikian Dia akan membantu dan
membimbing mereka kearah apa yang mereka harapkan.
Firman-Nya: maka disebabkan rahmat yang amat besar dari
Allah, engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka dapat menjadi
salah satu bukti bahwa Allah sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian
Nabi Muhammad saw, sebagaimana sabda Beliau : “Aku didik oleh tuhan-Ku, maka
sungguh baik hasil pendidikan-Nya”. Kepribadian beliau dibentuk sehingga
bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu
al-Qur’an, tetapi juga qalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau
merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Adapun
kandungan dari QS. Ali ‘Imran aayt 159 adalah sebagai berikut:
Pertama: Para ulama berkata, “Allah SWT
memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini secara
berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk
memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau. Setelah mereka mendapat
maaf, Allah SWT memerintahkan beliau utnuk memintakan ampun atas kesalahan
mereka terhadap Allah SWT. Setelah mereka mendapat hal ini, maka mereka pantas
untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara”.
Kedua: Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah
termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan hokum-hukum. Barangsiapa yang
tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan (jika dia seorang
pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang
yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firman Nya “sedang urusan
mereka (diputuskan dengan musyawarat antara mereka”
Ketiga: Firman Allah SWT: “Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Menunjukkan kebolehan
ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama yang didasari
dengan wahyu. Sebab, Allah SWT mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna perintah Allah SWT
kepada Nabi-Nya ntuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau.
Sekelompok ulama berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan
adalah dalam hal taktik perang dan ketika berhadapan dengan musuh untuk
menenangkan hati mereka, meninggikan derajat mereka dan menumbuhkan rasa cinta
kepada agama mereka, sekalipun Allah SWT telah mencukupkan beliau dengan
wahyu-Nya dari pendapat mereka”.[5]
Kelompok lain berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah
dalam hal yang tidak ada wahyu tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari
Hasan Al Basri dan Dhahak. Mereka berkata, “Allah SWt tidak memerintahkan
kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah karena Dia membutuhkan pendapat mereka,
akan tetapi Dia hanya ingin memberitahukan keutamaan yang ada di dalam
musyawarah kepada mereka dan agar umat beliau dapat menauladaninya.[6]
Keempat: Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari
Abu Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Orang
yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya”. Para ulama
berkata, “Kriteria orang yang layak untuk diajak musyawarah dalam masalah hokum
adalah memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama. Dan criteria ini jarang
sekali ada kecuali pada orang yang berakal”. Hasan berkata, “Tidaklah sempurna
agama seseorang selama akalnya belum sempurna”.[7]
Maka apabila orang
yang memenuhi criteria di atas diajak untuk bermusyawarah dan dia
bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang disampaikannya
keliru maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al
Khaththabi dan lainnya.
Kelima:keriteriaorang yang diajak
bermusyawarah dalam masalah kehidupan di masyarakat adalah
memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah.
Sebagian orang berkata, “Bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki
pengalaman, sebab dia akan memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan
pengalaman berharga yang pernah dialaminya dan kamu mendapatnya dengan cara
gratis”.
Keenam: Dalam musyawarah pasti ada
perbedaan pendapat. Maka, orang yang bermusyawarah harus memperhatikan
perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah
dan sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah SWT telah menunjukkan kepada
sesuatu yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan
tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir
ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah SWT memerintahkan kepada
Nabi-Nya dalam ayat ini.
Ketujuh: Firman Allah SWT “Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”. Qatadah
berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan
tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah
SWT, bukan tawakal kepada musyawarah mereka.
Kedelapan: Firman Allah SWT“Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.”. Tawakal artinya berpegang teguh kepada
Allah SWT sembari menampakkan kelemahan. Para ulama berbeda pendapat tentang Tawakal.
Suatu kelompok sufi berkata, “Tidak akan dapat melakukannya kecuali orang
yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada Allah, baik takut kepada bintang
buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha mencari rezeki karena yakin
dengan jaminan Allah SWT.”[8]
F. Ayat dan Hadis terkait
1. Nabi Muhammad saw bersabda : “Aku
didik oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya”(HR. Asyhari)
2. Dari abi burdah ia berkata: Nabi
Muhammad mengutus kakekku abu musa dan mu’adz ke Yaman lalu bersabda:
permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan menjauhkan( membuat
orang lari) dan berlemah lembutlah.” (HR. Bukhari muslim).
3. Al-Qur’an Surat Al-Fath ayat 29:
yang Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang
yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam
Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
G. Relevansi Q.S. ali-‘Imran 159 dengan Pendidikan yang
menyangkut interaksi guru dan peserta didik.
Relevansi QS. Ali ‘Imran dengan pendidikan khususnya bagi
seorang pendidik yang mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mendidik,
membimbing, membina, mengarahkan peserta didiknya sesuai dengan fitrah yang
telah diberikan Allah kepada mereka.Tanggung jawab ini harus di emban dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya,agar tujuan dari pendidikan yaitu membentuk Insan
kamil, menjadi hamba Allah yang selalu taat, tunduk dan patuh kepada-Nya,
dan menjadi manusia yang mempunyai wawasan keilmuan yang tinggi sehingga bisa
menjadi orang yang bahagia dunia dan akhirat.
Diantara hal yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik
ketika melaksanakan kegiatan pembelajaran,adalah harus bersikap lemah lembut,menyenangkan
untuk anak didiknya, tidak membosankan,menjadi tempat untuk berlindung dan
tempat untuk memecahkan masalah. Jangan sampai menjadi seorang pendidik yang
tempra mental, cepat marah, kasar, keras hati, tidak mempedulikan peserta
didiknya.Sikap – sikap itu akan membuat peserta didik jauh dan menjauhi sang
pendidik dan tujuan dari pendidikan kemungkinan besar akan susah untuk dicapai.
Dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, pendidik juga harus
melakukan diskusi dengan peserta didiknya, apa yang menjadi kendala mereka
dalam pelajaran,apa yang menjadi keinginan mereka dalam proses pembelajaran
misalnya dalam penggunaan metode atau pemberian tugas dan lain sebagainya.Jangan
sampai pendidik itu menjadai orang yang otoriter tidak menerima masukan dari
peserta didiknya, menganggap ia paling pintar dan paling tahu segalanya.
Padahal Allah telah berfirman bahwasanya Allah memberikan kita akan ilmu itu
hanyalah sedikit,bila diumpamakan dengan ilmu Allah ilmu kita itu bagaikan
setetes air yang jatuh dari jarum yang kita masukan kesamudera yang luas.
Manusia juga mempunyai kelebihan masing – masing ada yang mempunyai keahlian
dibidang komputer, pertanian, mengajar, membaca al-Qur’an dan lain sebagainya.
Kemudian ketika kita menemukan kesalahan dari peserta didik,
kekurang mampuan dalam, menyerap pelajaran,bandel dan sebagainya. Jangan lantas
kita membeci mereka, memperlakukan mereka dengan kasar dan keras, menghukum
mereka secara berlebihan atau bahkan mengatakan mereka dengan perkataan yang
kotor. Karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah akan tetapi justru akan
meimbulkan banyak masalah bagi pendidik itu sendiri lebih – lebih bagi peserta
didik yang masih dalam tahap pembelajaran. Maafkanlah semua kesalahan mereka
seraya menesehati mereka dengan lemah lembut,bukan berarti lemah lembut itu
tidak tegas, tetapi lemah lembut dalam menasehatinya denagan tutur kata yang
baik dan tidak menyudutkan mereka,karena mereka adalah tanggung jawab pendidik
dan seorang pendidik harus intropeksi diri.
Setelah kita berusaha dengan keras melakukan pendidikan
dengan memberikan arahan, bimbingan, wawasan pengetahuan kepada peserta
didik,sebagai seorang muslim,kita harus selalu menyerahkan segala urusan kepada
Allah. Keinginan, cita-cita, harapan, semuanya kita kembalikan kepada Allah.
Tentu saja setelah usaha maksimal (tentu yang dibenarkan syara`),
bermusyawah,berkonsultasi kepada para ahli,dan berdoa dengan sungguh-sungguh.
Ketawakkalan seseorang kepada Allah, adalah bukti kebenaran keimanan seorang
hamba. Karena hanya kepada Allah kita bersandar. Karena Allah sangat menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
[1]Departemen Agama RI. Al-Qur’an
Tafsir Per Kata Tajwid kode Angka Al- Hidayah. (Banten: Penerbit
Kalim.2011) hlm. 72
[2] Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hal. 619
[3] Prof. Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1980), hal 129
[4] Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan tafsirnya Jilid 2 Juz 4-5-6. (Jakarta: Kementrian Agama RI. . 2009) hlm. 67, lihat juga Al-Qur’an dan tafsirnya Jilid 2 Juz 4-5-6. (Jakarta: Kementrian Agama RI.2010) hlm. 67
[7] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,625
[8] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,628-632