Halaman

Tampilkan postingan dengan label guru. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label guru. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 Januari 2021

Interaksi guru dengan peserta didik (QS.Ali-Imran ayat 159)

 


A. QS. Ali ‘Imran Ayat 159

 

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَا وِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُتَوَكِّلِيْنَ.

 

B. Terjemahan

Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

C. Kosa Kata

Secara etimologis, linta terambil dari akar kata al-lin yang berarti “lemah lembut”, lawan al-khusyunah atau kasar. kata lin digunakan untuk hal – hal yang maknawi seperti akhlak. Linta berarti “kamu lemah lembut” ayat 159 ini menjelaskan, hanyalah karena rahmat Allah, Rasulullah dapat memiliki sikap lemah lembut dan tidak kasar terhadap para pengikutnya (para sahabat) meskipun mereka melakukan kesalahan dalam perang uhud, dengan meninggalkan posisi yang strategis di atas bukit, hal ini menyebabkan kegagalan dipihak kaum muslimin. Dengan sikap ini, orang – orang yang ada di sekelilingnya tidak akan menjauh dan akan semakin semakin dekat dengannya.

 

D. Munasabah / Asbabun Nuzul

Sebab – sebab turunya ayat ini kepada Nabi Muhammad saw adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwasanya setelah terjadinya perang Badar, Rasulullah mengadakan musyawarah dengan  Abu Bakar. ra dan Umar bin Khathab.ra untuk meminta pendapat meraka tentang para tawanan perang, Abu Bakar.ra berpendapat, meraka sebaiknya dikembalikan kepada keluargannya dan keluargannya membayar tebusan. Namun,Umar berpendapat mereka sebaiknya dibunuh. Yang diperintah membunuh adalah keluarganya. Rasulullah kesulitan dalam memutuskan. Kemudian turunlah ayat ini sebagai dukungan atas Abu Bakar (HR. Kalabi).[1]

E. Tafsir QS. Ali ‘Imran ayat 159

Menurut Ibnu Kaisan, Maa  adalah Maa  Nakirah yang berada pada posisi majrur dengan sebab ba’, sedangkan Rahmatin adalah badalnya. Maka makna ayat adalah ketika Rasulullah SAW bersikap lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu dengan sebab taufik-Nya kepada beliau.[2]

 Prof Hamka Menjelaskan tentang QS. Ali Imran ini, dalam ayat ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin.[3]

Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut,rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau,sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran – pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita, tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan ampunan dari Allah untuk mereka. Andaikata Nabi Muhammad saw bersikap keras, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan diri dari beliau.

Disamping itu Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan putusan – putusan musyawarah itu karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad dijalan Allah dengan tekad ayng bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.[4]

 M. Quraish Shihab di dalam Tafsirnya al-Misbah menyatakan bahwa ayat ini diberikan Allah kepada Nabi Muhammad untuk menuntun dan membimbingnya, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nbi kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang telah melakukan pelanggaran dan kesalahan dalam perang uhud itu.

Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa Perang Uhud yang dapat mengandung emosi manusia untuk marah, namun demikian, cukuo banyak pula bukti yang menunjukan kelemah lembutan Nabi saw.

Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan perang,beliau menerima usulan mereka,walau beliau kurang berkenan, beliau tidak memaki dan mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi hanya menegurnya dengan halus, dan lain lain.

Jika demikian, maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, sebagaimana dipahami dari bentuk infinitif (khusus) dari kata rahmat, bukan oleh satu sebab yang lain sebagaiman dipahami dari huruf (ما)  maa yang digunakan disini dalam kontek penetapan rahmat-Nya – disebabkan karena rahmat Allah itu – engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras, buruk perangai, kasar kata lagi berhati kasar tidak peka terhadap keadaan orang lain, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, disebabkan oleh antipati terhadapmu.

Karena perangimu tidak seperti itu maka maafkanlah kesalahan – kesalahan mereka yang kali ini mereka lakukan, mohonkanlah ampunan kepada Allah bagi mereka atas dosa-dosa yang mereka lakukan dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, yakni dalam urusan peperangan daln urusan dunia, bukan urusan syari’at atau agama. Kemudian apabila engkau telah melakukan hal-hal di atas dan telah membulatkan tekad, melaksanakan hasil musyawarah kamu, maka laksanakanlah sambil bertawakal kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, dengan demikian Dia akan membantu dan membimbing mereka kearah apa yang mereka harapkan.

Firman-Nya: maka disebabkan rahmat yang amat besar dari Allah, engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw, sebagaimana sabda Beliau : “Aku didik oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya”. Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu al-Qur’an, tetapi juga qalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.

 

Adapun kandungan dari QS. Ali ‘Imran aayt 159 adalah sebagai berikut:

Pertama: Para ulama berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau. Setelah mereka mendapat maaf, Allah SWT memerintahkan beliau utnuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah SWT. Setelah mereka mendapat hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara”.

Kedua: Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan hokum-hukum. Barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan (jika dia seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firman Nya “sedang urusan mereka (diputuskan dengan musyawarat antara mereka”

Ketiga: Firman Allah SWT: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama yang didasari dengan wahyu. Sebab, Allah  SWT mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya.

Para ulama berbeda pendapat tentang makna perintah Allah SWT kepada Nabi-Nya ntuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau.

Sekelompok ulama berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal taktik perang dan ketika berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan derajat mereka dan menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah SWT telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka”.[5]

Kelompok lain berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal yang tidak ada wahyu tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Al Basri dan Dhahak. Mereka berkata, “Allah SWt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah karena Dia membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin memberitahukan keutamaan yang ada di dalam musyawarah kepada mereka dan agar umat beliau dapat menauladaninya.[6]

Keempat: Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya”. Para ulama berkata, “Kriteria orang yang layak untuk diajak musyawarah dalam masalah hokum adalah memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama. Dan criteria ini jarang sekali ada kecuali pada orang yang berakal”. Hasan berkata, “Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum sempurna”.[7]

 Maka apabila orang yang memenuhi criteria di atas diajak untuk bermusyawarah dan  dia bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang disampaikannya keliru maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi dan lainnya.

Kelima:keriteriaorang yang diajak bermusyawarah  dalam  masalah  kehidupan di masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah. Sebagian orang berkata, “Bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki pengalaman, sebab dia akan memberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan pengalaman berharga yang pernah dialaminya dan kamu mendapatnya dengan cara gratis”.

Keenam: Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang bermusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah  SWT telah menunjukkan kepada sesuatu yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.

Ketujuh: Firman Allah SWT  “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”. Qatadah berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah SWT, bukan tawakal kepada musyawarah mereka.

Kedelapan: Firman Allah SWT“Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”. Tawakal artinya berpegang teguh kepada Allah SWT sembari menampakkan kelemahan. Para ulama berbeda pendapat tentang Tawakal. Suatu kelompok sufi berkata, “Tidak akan dapat melakukannya kecuali orang yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada Allah, baik takut kepada bintang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha mencari rezeki karena yakin dengan jaminan Allah SWT.”[8]

F. Ayat dan Hadis terkait

1.      Nabi Muhammad saw bersabda : “Aku didik oleh tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya”(HR. Asyhari)

2.      Dari abi burdah ia berkata: Nabi Muhammad mengutus kakekku abu musa dan mu’adz ke Yaman lalu bersabda: permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan menjauhkan( membuat orang lari) dan berlemah lembutlah.” (HR. Bukhari muslim).

 

3.      Al-Qur’an Surat Al-Fath ayat 29:

 yang Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

 

G. Relevansi Q.S. ali-‘Imran 159 dengan Pendidikan yang menyangkut interaksi guru dan peserta didik.

Relevansi QS. Ali ‘Imran dengan pendidikan khususnya bagi seorang pendidik yang mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mendidik, membimbing, membina, mengarahkan peserta didiknya sesuai dengan fitrah yang telah diberikan Allah kepada mereka.Tanggung jawab ini harus di emban dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,agar tujuan dari pendidikan yaitu membentuk Insan kamil, menjadi hamba Allah yang selalu taat, tunduk dan patuh kepada-Nya, dan menjadi manusia yang mempunyai wawasan keilmuan yang tinggi sehingga bisa menjadi orang yang bahagia dunia dan akhirat.

Diantara hal yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik ketika melaksanakan kegiatan pembelajaran,adalah harus bersikap lemah lembut,menyenangkan untuk anak didiknya, tidak membosankan,menjadi tempat untuk berlindung dan tempat untuk memecahkan masalah. Jangan sampai menjadi seorang pendidik yang tempra mental, cepat marah, kasar, keras hati, tidak mempedulikan peserta didiknya.Sikap – sikap itu akan membuat peserta didik jauh dan menjauhi sang pendidik dan tujuan dari pendidikan kemungkinan besar akan susah untuk dicapai.

Dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, pendidik juga harus melakukan diskusi dengan peserta didiknya, apa yang menjadi kendala mereka dalam pelajaran,apa yang menjadi keinginan mereka dalam proses pembelajaran misalnya dalam penggunaan metode atau pemberian tugas dan lain sebagainya.Jangan sampai pendidik itu menjadai orang yang otoriter tidak menerima masukan dari peserta didiknya, menganggap ia paling pintar dan paling tahu segalanya. Padahal Allah telah berfirman bahwasanya Allah memberikan kita akan ilmu itu hanyalah sedikit,bila diumpamakan dengan ilmu Allah ilmu kita itu bagaikan setetes air yang jatuh dari jarum yang kita masukan kesamudera yang luas. Manusia juga mempunyai kelebihan masing – masing ada yang mempunyai keahlian dibidang komputer, pertanian, mengajar, membaca al-Qur’an dan lain sebagainya.

Kemudian ketika kita menemukan kesalahan dari peserta didik, kekurang mampuan dalam, menyerap pelajaran,bandel dan sebagainya. Jangan lantas kita membeci mereka, memperlakukan mereka dengan kasar dan keras, menghukum mereka secara berlebihan atau bahkan mengatakan mereka dengan perkataan yang kotor. Karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah akan tetapi justru akan meimbulkan banyak masalah bagi pendidik itu sendiri lebih – lebih bagi peserta didik yang masih dalam tahap pembelajaran. Maafkanlah semua kesalahan mereka seraya menesehati mereka dengan lemah lembut,bukan berarti lemah lembut itu tidak tegas, tetapi lemah lembut dalam menasehatinya denagan tutur kata yang baik dan tidak menyudutkan mereka,karena mereka adalah tanggung jawab pendidik dan seorang pendidik harus intropeksi diri.

Setelah kita berusaha dengan keras melakukan pendidikan dengan memberikan arahan, bimbingan, wawasan pengetahuan kepada peserta didik,sebagai seorang muslim,kita harus selalu menyerahkan segala urusan kepada Allah. Keinginan, cita-cita, harapan, semuanya kita kembalikan kepada Allah. Tentu saja setelah usaha maksimal (tentu yang dibenarkan syara`), bermusyawah,berkonsultasi kepada para ahli,dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Ketawakkalan seseorang kepada Allah, adalah bukti kebenaran keimanan seorang hamba. Karena hanya kepada Allah kita bersandar. Karena Allah sangat menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.



[1]Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid kode Angka Al- Hidayah. (Banten: Penerbit Kalim.2011) hlm. 72

[2] Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hal. 619

[3]  Prof. Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1980), hal 129

[4] Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan tafsirnya Jilid 2 Juz 4-5-6. (Jakarta: Kementrian Agama RI. . 2009) hlm. 67, lihat juga Al-Qur’an dan tafsirnya Jilid 2 Juz 4-5-6. (Jakarta: Kementrian Agama RI.2010) hlm. 67

 [5] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,624

 [6] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,624

[7] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,625

[8] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,628-632