Halaman

Tampilkan postingan dengan label puasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puasa. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 Januari 2021

Yang Menghilangkan Pahala Puasa

 


A.      Tentang Puasa

Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah, Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي

“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahala satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah berkata: ‘Kecuali puasa maka Aku yg akan membalas orang yg menjalankan karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu dan makan karena Aku’.

Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa agar mendapatkan balasan dan keutamaan-keutamaan yg telah Allah janjikan. Dintaranya:

1.    Setiap muslim harus membangun ibadah puasa di atas iman kepada Allah dalam rangka mengharapkan ridha-Nya bukan karena ingin dipuji atau sekedar ikut-ikutan keluarga atau masyarakat yg sedang berpuasa. Rasulullah bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosa-dosa yg telah lalu.”

2.    Menjaga anggota badan dari hal-hal yang diharamkan Allah seperti menjaga lisan dari dusta ghibah dan lain-lain. Begitu pula menjaga mata dari melihat orang lain yang bukan mahram baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui gambar-gambar atau film-film dan sebagainya. Juga menjaga telinga tangan kaki dan anggota badan lain dari bermaksiat kepada Allah.
Rasulullah bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan maka Allah
tak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya.”

3.    Bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan kepadanya.
Rasulullah bersabda dalam hadits Abu Hurairah:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ

“Puasa adalah tameng maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti maka katakanlah saya sedang berpuasa.”

B. Yang Menghilangkan Pahala

Banyak orang-orang yang berpuasa, tapi tidak ada baginya (pahala) kecuali haus dan lapar. Artinya puasanya sia-sia tidak dapat pahala tapi puasanya tidak batal dengan kata lain hanya gugur kewajiban saja.

Yang dimaksud dengan merusak secara maknawi adalah bahwa orang berkenaan tidak akan mendapatkan pahala apapun dari jerih payahnya berpuasa. Akan tetapi secara hukum, dia telah melakukan puasa secara lahiriyah, maka tidak dituntut untuk menqodho’ (mengganti) puasanya tersebut.

1.        Memandang segala sesuatu yang dapat menggugah nafsu syahwat

2.        Mengucapkan kata-kata yang sia-sia atau tercela

3.        Mendengarkan segala sesuatu yang dibenci agama

4.        Melakukan perbuatan tercela, seperti pergi ke tempat maksiat atau perbuatan haram seperti berjudi dan minum-minuman keras (yang memabukkan).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya: Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah : Aku sedang puasa, aku sedang puasa “

 

 

5.        Berbohong

Berbohong sekali dapat memicu kebohongan berikutnya.

Dari Abu Hurairah, Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya”

 

6.        Mengghibah / menggosip

Ghibah lebih kejam dari perzinahan, kenapa demikian ?

Karena menggibah berhubungan dengan orang lain, so jika kita belum  meminta maaf ke orang yang di ghibah tsb maka   Alloh belum akan mengampuni kita. Sedangkan ketika seseorang mabuk sehingga berzina kemudian bertaubat kepada Alloh maka Alloh akan mengampuninya.

 

7.        Adu domba

Menyebarkan isu-isu yang dapat menimbulkan perpecahan maupun perselisihan baik itu di lingkungan keluarga, tempat kerja maupun yang lainnya.

 

8.        Sumpah palsu

Hati-hatilah dalam berjanji, hati-hati dalam berbicara ataupun bersumpah, janganlah mudah mengatakan “Demi Allah”. “Lima hal yang dapat menghilangkan pahala orang yang berpuasa, yakni berbohong, menggunjing, mengadu-domba, bersumpah dusta dan memandang dengan syahwat.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

9.        Melihat / memandang dengan pandangan syahwat

Dalam Kitab Hidayatus sholihin, ada sepuluh perkara yang dapat menghapus pahala puasa, semua itu berhubungan dengan hati kita diantaranya: Iri (tidak senang melihat orang lain ), Dengki ( berbuat sesuatu agar orang lain itu jadi rugi atau jelek seperti menfitnah, merusak barangnya dll), berbohong ( tidak jujur), cinta akan makan, saba`at , tamak. Orang yang suka iri biasanya cenderung ingin berbuat dengki atau membuat orang lain rugi dan mendorong kita menceritakan/mengorek-ngorek keburukan orang lain tersebut.

WAKTU-WAKTU YANG DIHARAMKAN BER PUASA

 


Menurut hukum Islam, ada beberapa hari yang tertentu, yang dilarang mengerjakan puasa padanya, seperti berikut:

1.        Puasa Pada dua Hari Raya

Alim ulama' rahimahumullah., telah ijma' (sekata) tentang haramnya berpuasa pada kedua-dua hari raya iaitu hari raya "Aidilfitri" dan hari raya "Aidiladha" - sama ada puasa wajib atau puasa sunat.

Dalilnya ialah hadith yang berikut:

عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ وَالْيَوْمُ الْآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ. (رواه البخاري)

35- Dari Abu `Ubayd, katanya: Aku telah hadir merayakan hari raya bersama-sama dengan Saiyidina `Umar bin al-Khattab r.a., lalu ia berkata:  "Hari raya ini dan hari raya yang satu lagi, Rasulullah s.a.w. telah melarang berpuasa padanya, iaitu hari raya Aidilfitri setelah kamu sempurnakan puasa kamu dan hari raya Aidiladha untuk kamu makan dari daging korban kamu."

(Hadith Sahih - Riwayat Bukhari)

Ditegaskan lagi dalam sebuah hadith yang antara lain seperti berikut:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ. (رواه مسلم)

36- " .. Bahawa Rasulullah s.a.w. telah melarang berpuasa pada dua hari, iaitu: "Hari raya Aidilfitri dan hari raya Aidiladha."

(Hadith Sahih - Riwayat Muslim)

Dalam sebuah hadith sahih yang lain, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, rahimahumallah., dari Ibn `Umar r.a., bahawa seorang lelaki telah datang bertanya kepada Ibn `Umar, katanya:

"Saya telah bernazar untuk berpuasa sehari, kebetulan hari itu jatuhnya pada hari raya puasa atau pada hari raya haji,  (bagaimana hukumnya)?"

Ibu `Umar menjawab: 

أَمَرَ اللهُ بِوَفَاءِ النَّذَرِ وَنَهَي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ هَذَا الْيَوْمِ.

"Allah Taala telah perintahkan supaya (orang yang bernazar) menyempurnakan nazarnya dan Rasulullah s.a.w. pula telah melarang (umatnya) daripada berpuasa pada hari yang tersebut."

2.        Puasa Pada Hari-hari Tasyriq

Hari-hari tasyriq (أيام التشريق) ialah tiga hari yang mengiringi hari raya haji iaitu hari yang kesebelas, kedua belas dan ketiga belas.

Dalam masa inilah orang-orang yang mengerjakan ibadat haji - berhimpun di "Mina".

Larangan berpuasa pada ketiga-tiga hari yang tersebut ada diterangkan dalam hadith yang berikut:

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أُنَادِيَ أَيَّامَ مِنًى إِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ فَلَا صَوْمَ فِيهَا يَعْنِي أَيَّامَ التَّشْرِيقِ. (رواه الإمام أحمد)

37- Dari Sa'ad bin Abi Waqas r.a., katanya: "Aku telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. supaya menyeru semasa (orang ramai sedang berhimpun) di "Mina" bahawa masa yang tersebut ialah khusus (untuk kamu) menikmati makan minum (dengan gembira) dan tidak di tuntut berpuasa padanya, yakni hari-hari tasyriq yang termaklum."

(Hadith Sahih Riwayat Imam Ahmad)

Diterangkan lagi dalam hadith yang berikut:

38- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حُذَافَةَ يَطُوفُ فِي مِنًى أَنْ لَا تَصُومُوا هَذِهِ الْأَيَّامَ فَإِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. (رواه الإمام أحمد)

38- Dari Abu Hurairah r.a., bahawa Rasulullah s.a.w. telah mengutuskan Abdullah bin Huzafah menyeru di merata-rata tempat, di "Mina", katanya: "Janganlah kamu berpuasa pada (ketiga-tiga) hari tasyriq ini, kerana ditentukan untuk kamu menikmati makan minum (dengan gembira) dan untuk kamu mengingati Allah Azza wa Jalla (dengan takbir dan tahmid)".(1)

(Hadith Sahih - Riwayat Imam Ahmad)

Larangan yang tersebut adalah larangan haram.

3.        Puasa "Hari Syak":

Hari "syak" juga dilarang berpuasa padanya. Ini diterangkan dalam hadith yang berikut:

عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه أبو داود والترمذي)

Dari `Amar bin Yasir r.a., katanya: "Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka sesungguhnya ia telah menderhaka kepada (Rasul Allah) Aba al-Qasim s.a.w."(1)

(Hadith Hasan Sahih - Riwayat  Abu Daud dan Tirmizi)

"Hari syak" atau "hari yang diragukan" yang tersebut ialah hari yang ketiga puluh dan bulan Sya'ban yang tidak diketahui dengan jelas sama ada ia dan bulan Ramadhan atau dari bulan Sya'ban, kerana rukyah mengenainya (yang diperkatakan orang pada 29 Sya'ban) tidak sabit atau saksi yang melihatnya tidak diterima pengakuannya oleh pihak yang berkuasa disebabkan fasiknya dan sebagainya.

Larangan yang tersebut haram hukumnya dan tidak sah puasanya.(2)

Dalam pada itu ada pengecualian, iaitu kalau seorang pada hari itu mengerjakan puasa qadha atau puasa nazar,  maka yang demikian tidak dilarang.

Demikian juga kalau ia biasa mengerjakan puasa sunat yang tertentu seperti "puasa hari Isnin" dan kebetulan jatuhnya pada "hari syak" yang tersebut maka itu tidak dilarang.

Yang dilarang ialah mengerjakan puasa yang tidak bersebab atau "Hari syak" itu diniatkan dari bulan Ramadhan. 

4.        Puasa hari Jumaat

Dilarang juga berpuasa (puasa sunat) pada hari Jumaat jika tidak disertakan dengan berpuasa sehari sebelumnya iaitu hari Khamis atau sehari selepasnya, iaitu hari Sabtu.

Ini diterangkan dalam hadith yang berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَوْمُ عِيدٍ فَلَا تَجْعَلُوا يَوْمَ عِيدِكُمْ يَوْمَ صِيَامِكُمْ إِلَّا أَنْ تَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ. (رواه الإمام أحمد)

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sebenarnya hari Jumaat ialah hari raya (mingguan), maka janganlah kamu jadikan hari raya kamu itu hari puasa kamu, kecuali kalau kamu berpuasa sehari sebelumnya atau sehari selepasnya."(1)

(Riwayat Imam Ahmad)

Larangan yang tersebut ialah larangan makruh. 

Di dalam hadith ini diterangkan dengan jelas sebab larangan itu:

Bahawa hari Jumaat ialah hari raya mingguan dan lazimnya tidak dituntut berpuasa pada hari yang dimuliakan sebagai hari raya.

5.        Puasa hari Sabtu

Makruh juga hukumnya berpuasa (puasa sunat) pada hari Sabtu jika tidak disertakan dengan berpuasa pada hari Ahad.

Ini berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lain-lainnya, maksudnya: "Janganlah kamu berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang diwajibkan atas kamu .."

Yakni kecuali puasa qadha dan puasa nazar.  (Demikian juga halnya puasa sunat yang biasa dilakukan dan secara kebetulan jatuhnya pada hari Sabtu, maka ia juga dikecualikan dan larangan itu).

6.        Setelah Minggu kedua dari bulan Sya’ban bagi orang yang tidak biasa mengerjakannya

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika bulan Sya’ban sampai pada pertengahan, maka janganlah kalian berpuasa,” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1339, ‘Aunul Ma’bud VI: 460 no: 2320, Tirmidzi II: 121 no: 735, Ibnu Majah I: 528 no: 1651, dengan redaksi yang hampir sama).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang diantara kamu berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali bagi orang biasa yang melakukan puasa tersebut, maka berpuasalah pada hari itu.” (Muttafaqun’alaih : Fathul Bari IV:127 no: 1914, Muslim II: 762 no: 1082, ‘Aunul Ma’bud VI: 459 no: 2318, dan Tirmidzi II: 97 no: 680, Nasa’i IV: 149 dan Ibnu Majah I: 528 no:1650).

7.        Puasa sepanjang tahun, sekalipun berbuka pada hari-hari yang dilarang berpuasa padanya

Dari Abdullah bin Amr r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda kepadaku, “Ya Abdullah bin Amr, sesungguhnya di malam hari, sesungguhnya jika engkau melaksanakan hal itu, berarti engkau telah menyerang dan menyiksa mata untuknya. Tidak (dinamakan) berpuasa orang yang berpuasa selama-lamanya.” (Muttafaqun’alaih : Muslim II : 815 no: 187 dan 1159 dan Fathul Bari IV:224 no: 1979).

Dari Abu Qatadah bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw. bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara engkau berpuasa?” Seketika itu, Rasulullah saw. marah terhadap pertanyaannya. Kemudian tatkala Umar melihat (sikap beliau) itu, ia berkata, “Kami ridha Allah sebagai Rabb (kami), Islam sebagai agama (kami), dan Muhammad sebagai Nabi (kami); kami berlindung kepada Allah dari murka-Nya dan dari murka Rasul-Nya.” Umar terus mengulang-ulang pernyataan tersebut hingga amarah Rasulullah saw. mereda. Kemudian ia (Umar) berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana tentang orang berpuasa terus menerus?” Maka jawab beliau, “(Berarti) dia tidak berpuasa dan tidak (pula) berbuka.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 2119, Muslim II:818 no: 1162, dan ‘Aunul Ma’bud VII: 75 no: 2403, dan Nasa’i IV: 207).

8.        Ketika suami di rumah, wanita dilarang melakukan puasa (sunnah), kecuali mendapat izin dari suaminya

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seorang isteri berpuasa ketika suaminya di rumah, kecuali mendapat izin darinya.” (Muttafaqun’alaih : Fathul Bari IX: 293 no: 5192, Muslim II:711 no: 1026, ‘Aunul Ma’bud VII: 128 no: 2441, dan Tirmidzi II: 140 no: 779 dan Ibnu Majah I: 560 no: 1761 dengan sedikit tambahan).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 410--414.