Ki Ageng Pandanarang adalah Bupati
Semarang  yang sangat  kaya 
raya.  Karena  kekayaannya 
itu  ia menjadi  sombong dan 
lupa menjalankan  ibadah.  Bahkan hanya memikirkan masalah  keduniawian 
saja.  Tugas menyebarkan  agama 
islam dilupakan  sama  sekali. 
Para wali  mengetahui  hal 
itu sangat  sedih.  Mereka 
kemudian  mengutus  Sunan Kalijaga  untuk 
menyadarkan  Ki  Ageng 
Pandanarang.  
Sunan 
Kalijaga  sangat  senang 
mendapat  tugas  mulia 
itu.  Ia  berupaya menyadarkan  Ki Ageng 
Pandanarang  dengan  berbagai 
cara.  Pertama,  ia 
menyamar  sebagai  seorang penjual  rumput dan menjual  rumputnya 
kepada Ki  Ageng  Pandanarang. 
Rumput  itu  dibeli 
Ki Ageng Pandanarang dengan 
harga  murah.  Ki 
Ageng  Pandanarang  keheranan karena di  dalam 
ikatan rumput  itu  terselip sebilah  keris 
berpamor  indah  dan 
terbuat  dari emas.  Namun, 
Ki  Ageng  Pandanarang 
tidak  mengetahui kalau dirinya
sedang diuji. 
Suatu 
ketika  Ki  Ageng 
Pandanarang  mengadakan pesta syukuran  karena telah selesai memugar  istananya. 
Seluruah Bupati di  pantai  utara Pulau Jawa diundangnya. Pada
kesempatan  itu Sunan Kalijaga menyamar
sebagai  rakyat jelata ikut hadir
dalam  pesta  itu.  Ki  Ageng Pandanarang  tidak mengetahuinya,  ia 
mengira  orang  itu 
hanya  ingin numpang makan saja. 
Sunan Kalijaga keluar dari  pendapa 
istana.  Ia mencipta  pakaian 
serba  mewah  lalu 
memakai pakaian  itu dan kembali
ke tempat pesta. Ki  Ageng Pandanarang
melihat ada tamu mengenakan pakaian 
mewah  itu  segera 
menyambutnya  dengan  ramah. 
Setelah  acara makan 
selesai, Ki  Ageng  Pandanarang mengajak  para 
tamunya mengelilingi  istana. Para
tamu memuji dan mcngagumi keindahan istana Kadipaten Semarang. Sunan Kalijaga
berkomentar  bahwa  istana 
Ki  Ageng  Pandanarang memang  indah 
dan  megah,  tapi 
sayang  keindahan dan  kemegahan 
istana  itu membuat orang  lupa daratan. 
Ki  Ageng Pandanarang  tidak merasa 
tersindir oleh ucapan  itu.  Sunan Kalijaga sangat kecewa, namun  ia 
tidak berputus asa. 
Untuk 
ketiga  kalinya,  Sunan 
Kalijaga  menyamar menjadi seorang
pengemis.  Ia mengenakan pakaian  compang-camping datang  ke 
istana  Kadipaten  Semarang. 
Kebetulan  pada  waktu 
itu  Ki Ageng  Pandanarang 
sedang  menghitung  uang 
di pendapa  istana.  Ki  Ageng 
Pandanarang  memberikan  uang 
kepada  pengemis  itu, 
tetapi  pengemis menolaknya.
"Hamba  tidak 
meminta  uang,"  kata 
pengemis  itu,  "Hamba hanya meminta suara suara bedug
di  masjid  Semarang. 
Dan Tuan jangan hanya memikirkan kekayaan  saja karena hidup  ini 
hanya sementara. Harta  benda  itu 
tidak  akan  dibawa mati. Di  surga 
kita  tidak  akan 
kekurangan  barang  yang serba indah,  apa pun yang kita kehendaki pasti  ada.
lbaratnya,  sekali 
mencangkul  mendapatkan  emas satu bongkah." Ki Ageng
Panadanarang sangat marah, "Saya tidak 
akan  menuruti  pennintaanmu. 
Perkataanmu itu hanya omong kosong belaka." 
"Kalau  Tuan 
ingin  sebongkah  emas 
maka dalam  waktu  sekejap 
hamba  dapat  memberikannya,"  kata 
pengemis  itu  seraya 
mencangkul  tiga kali  lalu 
melemparkannya  ke  hadapan 
Ki  Ageng Pandanarang. 
Ki Ageng Pandananrang hendak marah,
tetapi begitu melihat tanah  itu berubah
menjadi  emas, ia diam terpaku.
"Pengemis  ini  bukan 
pengemis  biasa,  ia mempunyai kelebihan,"  gumam Ki Ageng Pandanarang. 
Kyai 
Ageng  Pandanarang  menyadari 
kekurangannya.  Kini  ia 
baru menyadari  kalau  selama ini 
dirinya  mendapat  berbagai 
ujian  melalui  perlambang atau kiaasan. 
"Kyai marilah duduk di  sini," 
ajak Ki Ageng Pandanarang kepada pengemis itu. Pengemis  itu 
naik  ke  pendapa. 
Ia  duduk  di hadapan Ki Ageng Pandanarang. 
"Maafkanlah  saya 
Kyai  karena  saya 
telah menghina dan meremehkan Kyai,"  kata Ki Ageng Pandanarang  lembut, 
"Mulai  hari  ini 
saya  ingin berguru kepada Kyai.
Saya akan menuruti perintah Kyai." 
Sunan Kalijaga  tetap merahasiakan jati dirinya.  Ia sangat senang karena berhasil menyadarkan Ki
Ageng Pandanarang.
"Kalau Ki Ageng benar-benar
ingin berguru, saya  tidak  keberatan 
asalkan  Ki  Ageng mau 
menuruti  semua permintaan  saya," 
kata  pengemis  itu sambil menatap muka Ki Ageng Pandanarang.
"Saya  akan 
memenuhi  semua  permintaan Kyai.  Sebutkanlah 
satu  persatu,"  kata 
Ki  Ageng Pandanarang tanpa ragu. "Ada
tiga permintaanku.  Pertama, mulai  hari ini 
Ki  Ageng harus  beribadah, 
beriman,  membuat langgar  'tempat sholat'yang dilengkapi  dengan 
bedugnya,  merawat  para 
santri  serta  menyebarkan agama  islam 
di  Kadipaten Semarang;  Permintaanku 
yang kedua, Ki Ageng harus berzakat secukupnya;  dan 
permintaanku  yang  ketiga, 
Ki  Ageng harus  meninggalkan 
Kadipaten  Semarang  dan tinggal di Jabalkat di daerah
Tembayat." 
"Semua permintaan Kyai  akan 
saya  laksanakan,"  kata Ki Ageng Pandanarang tanpa ragu-ragu, 
"0,  ya. 
Saya  sampai  lupa 
menanyakan  nama Kyai." 
"Namaku Seh Malnya,"  kata 
sang penyamar, 
"Selamat  tinggal, 
semoga Ki  Ageng  diberi 
keselamatan." 
Dalam sekejap  saja pengemis 
itu  lenyap  dari pandangan mata Ki  Ageng 
Pandanarang.  Tinggallah  kini 
Ki  Ageng Pandanarang duduk  tennenung di 
pendapa istana.
 
"Aku  sangat 
menyesal  karena  selama 
ini telah  berlaku  bodoh. 
Aku  tidak menyadari  tengah mendapat  berbagai 
ujian  dari  seorang 
mukmin besar  bernama  Seh 
Malaya.  Rasa-rasanya  aku ingin cepat pergi ke Jabalkat berguru
kepadanya." 
Nyi 
Ageng  Kaliwungu  ingin 
ikut  pergi  ke Jabalkat 
dengan  membawa  putra 
bungsunya  yang bernama  Pangeran 
Jiwa.  Ki  Ageng 
Pandanarang mengijinkan 
istrinya  ikut  asalkan 
tidak membawa harta benda. 
Ki 
Ageng  Pandanarang  dan 
istrinya mengenakan  pakaian  serba putih. Mereka meninggalkan  Kadipaten 
Semarang  menuju  ke 
Jabalkat  tanpa seorang  pengawal 
pun.  Sesampainya  di 
tengah hutan mereka dihadang dua orang perampok. 
"Hai, Paman!"  teriak seorang perampok berbadan  tinggi 
dan  berwajah  garang, 
"Tinggalkan harta 
kekayaanmu.  Kalau  tidak 
pedang  ini  akan memenggal batang lehermu." 
"Jika  kalian 
menginginkan  harta  benda, 
rebutlah  tongkat  bambu 
kuning  yang  dibawa 
oleh istriku  itu,"  kata 
Ki  Ageng  Pandanarang 
sambil menunjuk  perempuan  yang 
sedang menggendong anak kecil, 
"Tetapi,  istri dan anakku
jangan kalian ganggu." 
"Apa"  Hanya 
bambu  kuning  saja 
Paman katakan harta benda," teriak penyamun  itu. 
Ki Ageng Pandanarang tetap tenang. 
"Di dalam bambu  itu 
terdapat emas, permata, dan uang dinar." 
Kedua 
penyamun  itu  kemudian 
merebut bambu  kuning  yang 
dibawa  Ni  Ageng 
Pandanarang.  Bambu  itu 
lalu di  belah. Temyata  di 
dalamnya memang berisi emas, pennata, dan uang dinar. 
"Kita kaya!"  teriak 
penyamun  berperut buncit. 
"Ya,"  jawab 
temarmya  yang  berwajah garang,  "Ini 
baru  di  dalam 
bambu.  Bungkusan yang  dibawa 
perempuan  itu  pasti 
berisi  permata dan uang dinar
yang lebih banyak. Mari kita rebut  saja
bungkusan itu."
Nyi 
Ageng  Kaliwungu  berteriak 
minta tolong  kepada  suaminya, 
"Kyai  tolong,  tolong 
... Ki!" Ki  Ageng  Pandanarang 
sangat  marah  dan menyumpahi  kedua perampok  itu. Perampok yang berperut  buncit 
mukanya  berubah  menjadi 
muka kambing  dan  diberi 
nama  Seh  Domba, 
sedangkan perampok yang berwajah garang mukanya berbuah menjadi  muka 
ular  dan  diberi 
nama  Seh  Kewel. Kedua 
perampok  itu  mengakui 
kesalahannya  dan minta  maaf kepada 
Ki  Ageng  Pandanarang. 
Selanjutnya,  mereka  mengabdi 
kepada  Ki  Ageng Pandanarang. 
Seteleh  beristirahat, 
Ki Ageng  Pandanarang dan  Nyi 
Ageng  Kaliwungu  melanjutkan 
perjalanannya  ke  arah 
timur.  Seh  Domba 
dan  Seh Kewel  berjalan di belakangnya. Perjalanan mereka telah  jauh.  Gunungg Merapi 
dan Gunung Merbabu telah 
mereka  lewati.  Dari 
jauh  kedua  gunung 
itu kelihatan  bagaikan dua  buah 
gunung  kembar.  Kemudian terus betjalan menyusuri sepanjang  Sungai Sengon. 
Ketika matahari  tepat diatas kepala, perjalanan  Ki  Ageng
Pandanarang  telah  sampai 
di  Sungai Tempuran. Yaitu
pertemuan antara Sungai Sengon dan Sungai Klathakan. 
"Sungguh  jemih 
air  disini ."  Gumam 
Ki Ageng  Pandanarang sembari
mengambil  air  untuk wudlu. 
Selanjutnya  Ki 
Ageng  Pandanarang  terus menjalankan sholat  lohor disebuah  batu datar yang terletak  tepat 
ditengah-tengah  Sungai  Tempuran itu, 
sembari  menunggu  Nyi 
Ageng  Pandanarang yang masih  tertinggal jauh dibelakang.
Tidak 
berapa  lama  sampailah 
Nyi  Ageng Kaliwungu di  Sungai Tempuran.  Ia mengambil air lalu  duduk 
di  atas  sebuah 
batu  datar  ditengah-tengah Sungai yang baru saja
dipergunakan Sholat Ki  Ageng
Pandanarang.  Ia melihat  ke 
depan,  suaminya tidak kelihatan. 
"Boya  wis lali  teka 
Kyai  ninggal  aku," ("sudah  lupakah gerangan Ki  sehingga meninggalkan aku") kata Nyi
Ageng Kaliwungu. 
Tempat  ltu kemudian 
dikenal  dengan  nama Boyolali. 
Dari 
Boyolali  Ki  Ageng 
Pandanarang  dan rombongan  menuju ke 
arah  selatan  melewati hutan,  sawah-sawah, 
dan  perkampungan.  Mereka terus 
berjalan  sehingga  sampai 
di  Tembayat.  Ia menetap 
di Tembayat sehingga  ia  terkenal dengan nama Sunan Tembayat.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar