Halaman

Selasa, 12 Januari 2021

ASAL-USUL BOYOLALI



Ki Ageng Pandanarang adalah Bupati Semarang  yang sangat  kaya  raya.  Karena  kekayaannya  itu  ia menjadi  sombong dan  lupa menjalankan  ibadah.  Bahkan hanya memikirkan masalah  keduniawian  saja.  Tugas menyebarkan  agama  islam dilupakan  sama  sekali.  Para wali  mengetahui  hal  itu sangat  sedih.  Mereka  kemudian  mengutus  Sunan Kalijaga  untuk  menyadarkan  Ki  Ageng  Pandanarang. 

 

Sunan  Kalijaga  sangat  senang  mendapat  tugas  mulia  itu.  Ia  berupaya menyadarkan  Ki Ageng  Pandanarang  dengan  berbagai  cara.  Pertama,  ia  menyamar  sebagai  seorang penjual  rumput dan menjual  rumputnya  kepada Ki  Ageng  Pandanarang.  Rumput  itu  dibeli  Ki Ageng Pandanarang dengan  harga  murah.  Ki  Ageng  Pandanarang  keheranan karena di  dalam  ikatan rumput  itu  terselip sebilah  keris  berpamor  indah  dan  terbuat  dari emas.  Namun,  Ki  Ageng  Pandanarang  tidak  mengetahui kalau dirinya sedang diuji.

Suatu  ketika  Ki  Ageng  Pandanarang  mengadakan pesta syukuran  karena telah selesai memugar  istananya.  Seluruah Bupati di  pantai  utara Pulau Jawa diundangnya. Pada kesempatan  itu Sunan Kalijaga menyamar sebagai  rakyat jelata ikut hadir dalam  pesta  itu.  Ki  Ageng Pandanarang  tidak mengetahuinya,  ia  mengira  orang  itu  hanya  ingin numpang makan saja.

 

Sunan Kalijaga keluar dari  pendapa  istana.  Ia mencipta  pakaian  serba  mewah  lalu  memakai pakaian  itu dan kembali ke tempat pesta. Ki  Ageng Pandanarang melihat ada tamu mengenakan pakaian  mewah  itu  segera  menyambutnya  dengan  ramah.

Setelah  acara makan  selesai, Ki  Ageng  Pandanarang mengajak  para  tamunya mengelilingi  istana. Para tamu memuji dan mcngagumi keindahan istana Kadipaten Semarang. Sunan Kalijaga berkomentar  bahwa  istana  Ki  Ageng  Pandanarang memang  indah  dan  megah,  tapi  sayang  keindahan dan  kemegahan  istana  itu membuat orang  lupa daratan.  Ki  Ageng Pandanarang  tidak merasa  tersindir oleh ucapan  itu.  Sunan Kalijaga sangat kecewa, namun  ia  tidak berputus asa.

 

Untuk  ketiga  kalinya,  Sunan  Kalijaga  menyamar menjadi seorang pengemis.  Ia mengenakan pakaian  compang-camping datang  ke  istana  Kadipaten  Semarang.  Kebetulan  pada  waktu  itu  Ki Ageng  Pandanarang  sedang  menghitung  uang  di pendapa  istana.  Ki  Ageng  Pandanarang  memberikan  uang  kepada  pengemis  itu,  tetapi  pengemis menolaknya.

"Hamba  tidak  meminta  uang,"  kata  pengemis  itu,  "Hamba hanya meminta suara suara bedug di  masjid  Semarang.  Dan Tuan jangan hanya memikirkan kekayaan  saja karena hidup  ini  hanya sementara. Harta  benda  itu  tidak  akan  dibawa mati. Di  surga  kita  tidak  akan  kekurangan  barang  yang serba indah,  apa pun yang kita kehendaki pasti  ada.

 

lbaratnya,  sekali  mencangkul  mendapatkan  emas satu bongkah." Ki Ageng Panadanarang sangat marah, "Saya tidak  akan  menuruti  pennintaanmu.  Perkataanmu itu hanya omong kosong belaka."

"Kalau  Tuan  ingin  sebongkah  emas  maka dalam  waktu  sekejap  hamba  dapat  memberikannya,"  kata  pengemis  itu  seraya  mencangkul  tiga kali  lalu  melemparkannya  ke  hadapan  Ki  Ageng Pandanarang.

Ki Ageng Pandananrang hendak marah, tetapi begitu melihat tanah  itu berubah menjadi  emas, ia diam terpaku. "Pengemis  ini  bukan  pengemis  biasa,  ia mempunyai kelebihan,"  gumam Ki Ageng Pandanarang.

Kyai  Ageng  Pandanarang  menyadari  kekurangannya.  Kini  ia  baru menyadari  kalau  selama ini  dirinya  mendapat  berbagai  ujian  melalui  perlambang atau kiaasan.

"Kyai marilah duduk di  sini,"  ajak Ki Ageng Pandanarang kepada pengemis itu. Pengemis  itu  naik  ke  pendapa.  Ia  duduk  di hadapan Ki Ageng Pandanarang.

"Maafkanlah  saya  Kyai  karena  saya  telah menghina dan meremehkan Kyai,"  kata Ki Ageng Pandanarang  lembut,  "Mulai  hari  ini  saya  ingin berguru kepada Kyai. Saya akan menuruti perintah Kyai."

 

Sunan Kalijaga  tetap merahasiakan jati dirinya.  Ia sangat senang karena berhasil menyadarkan Ki Ageng Pandanarang.

 

"Kalau Ki Ageng benar-benar ingin berguru, saya  tidak  keberatan  asalkan  Ki  Ageng mau  menuruti  semua permintaan  saya,"  kata  pengemis  itu sambil menatap muka Ki Ageng Pandanarang.

"Saya  akan  memenuhi  semua  permintaan Kyai.  Sebutkanlah  satu  persatu,"  kata  Ki  Ageng Pandanarang tanpa ragu. "Ada tiga permintaanku.  Pertama, mulai  hari ini  Ki  Ageng harus  beribadah,  beriman,  membuat langgar  'tempat sholat'yang dilengkapi  dengan  bedugnya,  merawat  para  santri  serta  menyebarkan agama  islam  di  Kadipaten Semarang;  Permintaanku  yang kedua, Ki Ageng harus berzakat secukupnya;  dan  permintaanku  yang  ketiga,  Ki  Ageng harus  meninggalkan  Kadipaten  Semarang  dan tinggal di Jabalkat di daerah Tembayat."

 

"Semua permintaan Kyai  akan  saya  laksanakan,"  kata Ki Ageng Pandanarang tanpa ragu-ragu,

"0,  ya.  Saya  sampai  lupa  menanyakan  nama Kyai."

"Namaku Seh Malnya,"  kata  sang penyamar,

"Selamat  tinggal,  semoga Ki  Ageng  diberi  keselamatan."

 

Dalam sekejap  saja pengemis  itu  lenyap  dari pandangan mata Ki  Ageng  Pandanarang.  Tinggallah  kini  Ki  Ageng Pandanarang duduk  tennenung di  pendapa istana.

 

"Aku  sangat  menyesal  karena  selama  ini telah  berlaku  bodoh.  Aku  tidak menyadari  tengah mendapat  berbagai  ujian  dari  seorang  mukmin besar  bernama  Seh  Malaya.  Rasa-rasanya  aku ingin cepat pergi ke Jabalkat berguru kepadanya."

Nyi  Ageng  Kaliwungu  ingin  ikut  pergi  ke Jabalkat  dengan  membawa  putra  bungsunya  yang bernama  Pangeran  Jiwa.  Ki  Ageng  Pandanarang mengijinkan  istrinya  ikut  asalkan  tidak membawa harta benda.

 

Ki  Ageng  Pandanarang  dan  istrinya mengenakan  pakaian  serba putih. Mereka meninggalkan  Kadipaten  Semarang  menuju  ke  Jabalkat  tanpa seorang  pengawal  pun.  Sesampainya  di  tengah hutan mereka dihadang dua orang perampok.

 

"Hai, Paman!"  teriak seorang perampok berbadan  tinggi  dan  berwajah  garang,  "Tinggalkan harta  kekayaanmu.  Kalau  tidak  pedang  ini  akan memenggal batang lehermu."

"Jika  kalian  menginginkan  harta  benda,  rebutlah  tongkat  bambu  kuning  yang  dibawa  oleh istriku  itu,"  kata  Ki  Ageng  Pandanarang  sambil menunjuk  perempuan  yang  sedang menggendong anak kecil,  "Tetapi,  istri dan anakku jangan kalian ganggu."

"Apa"  Hanya  bambu  kuning  saja  Paman katakan harta benda," teriak penyamun  itu.

Ki Ageng Pandanarang tetap tenang.

"Di dalam bambu  itu  terdapat emas, permata, dan uang dinar."

Kedua  penyamun  itu  kemudian  merebut bambu  kuning  yang  dibawa  Ni  Ageng  Pandanarang.  Bambu  itu  lalu di  belah. Temyata  di  dalamnya memang berisi emas, pennata, dan uang dinar.

"Kita kaya!"  teriak  penyamun  berperut buncit.

"Ya,"  jawab  temarmya  yang  berwajah garang,  "Ini  baru  di  dalam  bambu.  Bungkusan yang  dibawa  perempuan  itu  pasti  berisi  permata dan uang dinar yang lebih banyak. Mari kita rebut  saja bungkusan itu."

 

Nyi  Ageng  Kaliwungu  berteriak  minta tolong  kepada  suaminya,  "Kyai  tolong,  tolong  ... Ki!" Ki  Ageng  Pandanarang  sangat  marah  dan menyumpahi  kedua perampok  itu. Perampok yang berperut  buncit  mukanya  berubah  menjadi  muka kambing  dan  diberi  nama  Seh  Domba,  sedangkan perampok yang berwajah garang mukanya berbuah menjadi  muka  ular  dan  diberi  nama  Seh  Kewel. Kedua  perampok  itu  mengakui  kesalahannya  dan minta  maaf kepada  Ki  Ageng  Pandanarang.  Selanjutnya,  mereka  mengabdi  kepada  Ki  Ageng Pandanarang.

 

Seteleh  beristirahat,  Ki Ageng  Pandanarang dan  Nyi  Ageng  Kaliwungu  melanjutkan  perjalanannya  ke  arah  timur.  Seh  Domba  dan  Seh Kewel  berjalan di belakangnya. Perjalanan mereka telah  jauh.  Gunungg Merapi  dan Gunung Merbabu telah  mereka  lewati.  Dari  jauh  kedua  gunung  itu kelihatan  bagaikan dua  buah  gunung  kembar.  Kemudian terus betjalan menyusuri sepanjang  Sungai Sengon.

 

Ketika matahari  tepat diatas kepala, perjalanan  Ki  Ageng Pandanarang  telah  sampai  di  Sungai Tempuran. Yaitu pertemuan antara Sungai Sengon dan Sungai Klathakan.

"Sungguh  jemih  air  disini ."  Gumam  Ki Ageng  Pandanarang sembari mengambil  air  untuk wudlu.

 

Selanjutnya  Ki  Ageng  Pandanarang  terus menjalankan sholat  lohor disebuah  batu datar yang terletak  tepat  ditengah-tengah  Sungai  Tempuran itu,  sembari  menunggu  Nyi  Ageng  Pandanarang yang masih  tertinggal jauh dibelakang.

 

Tidak  berapa  lama  sampailah  Nyi  Ageng Kaliwungu di  Sungai Tempuran.  Ia mengambil air lalu  duduk  di  atas  sebuah  batu  datar  ditengah-tengah Sungai yang baru saja dipergunakan Sholat Ki  Ageng Pandanarang.  Ia melihat  ke  depan,  suaminya tidak kelihatan.

 

"Boya  wis lali  teka  Kyai  ninggal  aku," ("sudah  lupakah gerangan Ki  sehingga meninggalkan aku") kata Nyi Ageng Kaliwungu.

 

Tempat  ltu kemudian  dikenal  dengan  nama Boyolali.

 

Dari  Boyolali  Ki  Ageng  Pandanarang  dan rombongan  menuju ke  arah  selatan  melewati hutan,  sawah-sawah,  dan  perkampungan.  Mereka terus  berjalan  sehingga  sampai  di  Tembayat.  Ia menetap  di Tembayat sehingga  ia  terkenal dengan nama Sunan Tembayat.