Halaman

Rabu, 27 Januari 2021

IJARAH - FIKIH

 


A.      Pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Ijarah

Kata Al-ijarah sendiri berasal dari kata Al ajru yang diartikan sebagai Al 'Iwadhu yang mempunyai arti ”ganti”, al-kira`, yang mempunyai arti ”bersamaan” dan  al-ujrah yang memiliki arti ”upah”

Pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:

1. Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya imbalan.

2. Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy (manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang, sedangkan untuk al-kira` menurut istilah mereka, digunakan untuk `aqad sewa-menyewa pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan.

3. Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.

4. Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara` dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya `iwadah.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah.

B.       Definisi Al-Ijarah

Al Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat suatu barang dengan jalan penggantian. Beberapa contoh kontrak ijarah (pemilikan manfaat) seperti (a) Manfaat yang berasal dari aset seperti rumah untuk ditempati, atau mobil untuk dikendarai, (b) Manfaat yang berasal karya seperti hasil karya seorang insinyur bangun­an, tukang tenun, tukang pewarna, penjahit, dll (c) Manfaat yang berasal dari skill/keahlian individu seperti pekerja kantor, pembantu rumah tangga, dll. Sementara itu, menyewakan pohon untuk dimanfaatkan buahnya, menyewakan makanan untuk dimakan, dll bukan termasuk kategori ijarah karena barang-barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali barang-barang tersebut akan habis dikonsumsi. 

Adapun landasan hukum ijarah dari Al-Qur’an dapat ditemukan antara lain pada Surah Az-Zuhruf ayat 32, Surah Al-Baqarah ayat 233, dan Surah Al-Qashash ayat 26 dan 27. Sedangkan landasan hukum yang berasal dari Hadits Nabi SAW antara lain Hadits Al-Bukhari yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah menyewa seseorang dari Bani Ad-Diil bernama Abdullah bin Al Uraiqith sebagai petunjuk jalan yang professional.

Menurut Sayyid Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

 

C.      Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu :

a.       Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah.

b.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebutmu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah.

Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah.

 

D.      Dasar Ijarah

Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah.

 

E.       Kebolehan  transaksi  ijarah  didasarkan  Al Qur’an dan hadits

1)        Ayat Al-Qur`an

QS. Al-Baqarah : 233

Artinya :

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

 

QS. Az-Zukhruf : 32

Artinya :

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.

 

QS. Al-Qashash ayat 26 – 27: 

Artinya :

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (28-26)

Berkatalah dia (Syu’aib) : ”Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik. (28-27)

 

QS. Al-Kahfi: 77

 

Artinya :

”Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. 18:77)

 

2)        Hadist Rasulullah SAW

  Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammadsaw. Bersabda :

Artinya : Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.

 

v  Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :

Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.

 

v  Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada:

Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.

 

v  Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada :

Artinya : Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

 

F.     Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut :

a.       Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.

b.      Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa.

c.       Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.

d.      Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.

 

G.    Rukun dan Syarat Ijarah:

  1. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, sedangkan musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu  dan yang menyewa sesuatu. Disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharuf (mengendalikan harta), dan saling meridhai. Allah SWT berfirman: 

QS. An Nisaa : 29

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. QS. an-Nisa' (4) : 29

Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.

  1. Sighat ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah.
  2. Ujrah, disyaratkan deiketahui jumlahnya oleh kedua pihak, baik dalam sewa menyewa ataupun dalam hal upah-mengupah.
  3. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat sebagai berikut.

-          Barang yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.

-          Benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaanya (khusus daam sewa-menyewa).

-          Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang.

-          Benda yang disewakan disyaratkan kekal ’ain (zat) nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian akad.

 

H.    Ketentuan Obyek Ijarah:

  1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
  2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
  3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
  4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
  5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
  6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
  7. Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
  8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
  9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

 

Kewajiban pemberi manfaat barang atau jasa:

1.         Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan

2.         Menanggung biaya pemeliharaan barang.

3.         Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.

 

Kewajiban penerima manfaat barang atau jasa:

1.         Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).

2.         Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).

3.         Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

 

I.       Syarat Ijarah

      Harus termasuk dari harta yang halal

      Harus diketahui jenis, macam dan satuannya

      Tidak boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan disewa untuk menghindari kemiripan riba fadhl

      Kebanyakan ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang tetapi dalam bantuk jasa (manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1 minggu dengan mengajar anaknya matematika selama 1 bulan 8 Kali pertemuan.

 

Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dikatakan dengan jelas siapa yang menanggung biaya pemelihraan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan  jika kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena penyewa menangung biaya yang tidak jelas.

 

J.        Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

Ijarah adalah jenis akad  tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati adanya hal-hal yang mewajibkan fasakh.

Ijarah akan menjadi fasakh (batal) bila terdapat hal-hal sebagai berikut:

-          Terdapat cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.

-          Barang yang disewakan hancur atau rusak.

-          Rusaknya barang yang diupahkan, seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.

-          Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa.

-          Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan telah selesai pekerjaan.

-          Salah satu pihak meninggal dunia (Hanafi); jika barang yang disewakan itu berupa hewan maka kematiannya mengakhiri akad ijaroh (Jumhur).

-          Kedua pihak membatalkan akad dengan iqolah.

 

K.      Pengembalian Sewaan

Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang tersebut dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap, ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu berupa tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada keharusan mengembalikan untuk menyerahterimakan seperti barang titipan.

 

L.       Lain-lain mengenai Ijarah


1.      ”Hal-hal yang boleh ditarik upahnya

Segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan sesuatu itu yang tetap utuh, maka boleh disewakan untuk mendapatkan upahnya, selama tidak didapati larangan dari syari’at.

Dipersyaratkan sesuatu yang disewakan itu harus jelas dan upahnya pun jelas, demikian pula jangka waktunya dan jenis pekerjaannya.

Allah swt berfirman ketika menceritakan perihal rekan Nabi Musa as:

“Berkatalah dia (Syu’aib), Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu.” (QS al-Qashash: 27).

Dari Hanzhalah bin Qais, ia bertutur: Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Maka jawabnya, “Tidak mengapa, sesungguhnya pada masa Nabi saw orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (galengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, lalu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih).

 

2.      Dosa orang yang tidak membayar upah pekerja

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw Beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari kiamat (kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan dan Fathul Bari IV:).

 

3.      Perbuatan yang tidak boleh diambil upahnya sebagai mata pencaharian

Allah SWT menegaskan :

“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mulia Pengampun Lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” (QS an-Nuur: 33).

Dari Jabir Abdullah bin Ubai bin Salul mempunyai dua budak perempuan, yang satu bernama Musaikah dan satunya lagi bernama Umaimah. Kemudian dia memaksa mereka agar melacur, lalu mereka mengadukan kasus itu kepada Nabi saw. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:

“Dan janganlah kamu memaksa budak-budak wanitamu untuk melacur maka adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Shahih: Mukhtashar Muslim dan Muslim).

Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah tukang tenung. (Muslim, ‘Aunul Ma’bud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasa’i )

Dari Ibnu Umar ra ia berkata, “Nabi saw melarang upah persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim, Fathul Bari, ‘Aunul Ma’bud, Tirmidzi dan Nasa’i ).

 

4.      Upah membaca Al-QUR’AN

Dari Abdurrahman bin Syibl al-Anshari ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,

“Hendaklah kalian membaca al-Qur’an, namun janganlah kamu makan dengan (upah membaca)nya, jangan (pula) memperbanyak (harta) dengannya, jangan kamu berpaling darinya dan jangan (pula) kalian berkelebihan dalam (menyikapi)nya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir dan al-Fathur Rabbani ).

Dari Jabir bin Abdillah ra, ia berkata : Rasulullah saw pernah pergi menemui kami yang sedang membaca al-Qur’an, sedang di antara kami ada yang berkebangsaan Arab dan ada pula non Arab. Kemudian Beliau bersabda, “Bacalah (al-Qur’an); karena setiap (huruf) (pahalanya) satu kebaikan; dan akan ada sejumlah kaum yang berusaha meluruskan bacaan al-Qur’an sebagaimana dibereskannya gelas (yang pecah); mereka tergesa-gesa untuk mendapat balasannya dan tidak mau menangguhkannya.” (Shahih: ash-Shahihah dan ‘Aunul Ma’bud).

Ma’na kalimat “Dan akan ada sejumlah kaum yang berusaha meluruskan bacaan al-Qur’an ini pada mereka yang gigih memperbaiki lafadz dan kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan memaksa dan memperhatikan makharijul huruf dan sifat-sifatnya “Sebagaimana dibereskannya gelas (yang pecah)” yaitu mereka berusaha dengan serius memperbaiki bacaan karena riya’, sum’ah, prestise, dan populer. “Mereka menangguhkannya, yaitu mendambakan pahala di akhirat, namun justeru mereka mengutamakan balasan duniawi balasan yang dijanjikan di akhirat. Mereka ittikal (pasrah tanpa iktiyar), tidak mau bertawakkal kepada-Nya.  

Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa ia pernah mendengar Nabi saw bersabda, “Pelajarilah al-Qur’an, dan dengannya mohonlah kepada Allah surga sebelum satu kaum yang mempelajarinya untuk mencari keuntungan duniawi; karena sesungguhnya al-Qur’an dipelajari oleh tiga kelompok manusia: (pertama) seorang yang senang berbangga diri dengannya, (kedua) seorang yang mencari makan dengannya, dan (ketiga) seorang yang membacanya karena Allah ta’ala.” (Shahih: ash-Shahihah dan Ibnu Nashr meriwayatkannya dalam Qiyamul lail). ” (www.alislamu.com, Pusat Kajian Islam)

 

M.     Beberapa contoh Ijarah Kontemporer            

Ijarah adalah akad untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang ataupun jasa atas tenaga kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang, maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah. Pada ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan objek ijarah. Objek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan.

Contoh : Pemilik kendaraan bermotor  menyewakan kendaraannya dengan memperoleh imbalan uang sewa. Seorang mandor memperoleh upah dari manfaat tenaga kerja yang diberikan kepada pemilik proyek

·         Ijarah al-Muwazy (Paralel)

Menyewakan barang kepada pihak ketiga, hukumnya dibolehkan, apabila pemilik barang mengizinkannya. Apabila pemilik asset tidak mengizinkannya, maka penyewaan kepada pihak ketiga tidak dibolehkan., Bank syariah dan BMT dapat menjadikan konsep ini sebagai produk.

·         Ijarah Munyahiyah bit Tamlik

IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit Tamlik. Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama dengan sewa beli, dan tidak sama pula dengan leasing. Dalam sewa beli, lessee otomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa. Dalam IMBT, janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Bila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Sedangkan pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee. Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT paling tidak mempunyai dua pilihan. Pertama, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada bank telah memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil. Dalam hal ini, meskipun secara teori fikih dikatakan hukumnya tidak mengikat untuk memindahkan kepemilikan barang tersebut, namun secara praktik bisnisnya barang tersebut akan diserahkan kepemilikannya kepada nasabah. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan sewa beli dibandingkan dengan leasing.  Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada tidak memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak nihil (biasanya disebut nilai residu). Dalam hal ini, bila nasabah membayar nilai residu tersebut maka bank akan memindahkan kepemilikannya pada nasabah. Namun bila nasabah belum membayar nilai residunya, bank belum memindahkan kepemilikan tersebut. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan leasing dibandingkan dengan sewa beli.

Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri. Pada sewa beli, lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakannya itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa sendiri. Pada IMBT keduanya dapat terjadi, menyediakaan barang sewa dengan cara menyewa, kemudian menyewakannya kembali. Juga dimungkinkan menyediakan barang sewa dengan membeli kemudian menyewakannya.

Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT dapat saja membiayai penyewaan barang kemudian barang tersebut disewakan kembali, dan dapat pula membiayai pembelian barang kemudian barang tersebut disewakan. Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri. Terakhir, leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Pembiayaan IMBT boleh dilakukan oleh bank syariah, sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak termasuk kegiatan bank syariah.

Fatwa MUI tentang IMBT

      Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

      Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

 

N.      Sukuk Ijarah

Sukuk Ijarah merupakan surat berharga yang merepresentasikan kepemilikan penyertaan atas asset yang disewakan. Sukuk ini memberikan hak kepada para pemegangnya untuk mendapatkan uang sewa serta hak untuk mengalihkan kepemilikan berdasarkan penyertaan yang mereka miliki tanpa mempengaruhi hak si penyewa, dengan kata lain sukuk ini dapat diperjual belikan. Para pemiliki sukuk menanngungg seluruh biaya perawatan dan kerusakan dari asset yang dimilki berdasarkan proporsi kepemilikan mereka. (AAOIFI), Secara umum sukuk didefinisikan sebagai sertifikat pertisipasi Islami yang dapat diperdagangkan berdasarkan kepemilikan dan pertukaran dari asset yang disepakati bersama

Khusus untuk sukuk ijarah, kontrak yang mendasarinya adalah ijarah yaitu sewa menyewa (leasing) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebagaimana ketentuan transaksi bisnis syariah yang membedakannya dengan ketentuan transaksi bisnis konvensional, kegiatan sukuk ijarah tidak boleh bertentangan dengan syariah seperti :

(a) Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang; (b) Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional; (c) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram; (d) Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat (Fatwa No. 20 DSN-MUI/IV/2001). Selain itu, keuntungan yang akan dibagikan oleh penerbit sukuk ijarah harus bersumber dari hasil usaha/pengelolaan sukuk ijarah itu sendiri.

Untuk dapat melakukan kontrak sukuk berbasis ijarah, para investor, penerbit sukuk dan pihak terkait lainnya wajib memenuhi sejumlah persyaratan tertentu. Pertama, kedua belah pihak yang akan melakukan akad harus berkemampuan dan berakal. Kedua, akil baligh sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Asy Syafi'i dan Hambali. Sehingga berakad dengan anak kecil dinyatakan tidak sah. Kemudian, agar transaksi berbasis ijarah tersebut menjadi sah (valid), diperlukan pula sejumlah ketentuan tambahan. Pertama, adanya kerelaan kedua belah pihak yang melakukan akad sebagaimana Firman Allah SWT pada Surah An-Nisa ayat 29. Kedua, mengetahui secara sempurna manfaat dari barang yang menjadi objek akad antara lain untuk mencegah terjadinya perselisihan.   Ketiga, barang atau asset yang menjadi objek akad dapat dimanfaatkan sesuai dengan kriteria, realita dan syara. Imam Hanafi menambahkan bahwa menyewakan barang yang tidak dapat dibagi (tidak dalam keadaan lengkap) tidak dapat diperbolehkan, sebab manfaat kegunaannya tidak dapat ditentukan. Keempat, aset tersebut sudah jelas, nyata dan dimiliki penerbit sukuk sehingga dapat disewakan untuk diambil manfaatnya. Menyewakan binatang buruan (masih dalam perburuan), tanah tandus atau menyewakan binatang lumpuh yang tidak dapat diserahkan tidak dibenarkan secara syariah karena tidak mendatangkan kegunaan yang menjadi obyek dari akad ini. Terakhir, sewa-menyewa yang dilakukan bukan untuk sesuatu yang diharamkan. Menyewakan asset yang akan digunakan untuk memproduksi minuman keras, tempat berjudi, dll tidak dibenarkan dalam syariah dan kontrak ijarah yang dilakukan menjadi ijarah fasid.

Hal terakhir yang spesifik dan layak diketahui dari sukuk ijarah adalah kontrak ini dapat diperjualbelikan di pasar modal dengan harga yang ditentukan oleh kekuatan pasar. Kegiatan ekonomi, investasi serta risiko yang berhubungan dengan kesanggupan penyewa untuk membayar harga sewa serta biaya penjaminan dan pemeliharaan asset menentukan harga sukuk ijarah di pasar keuangan. Namun demikian, sukuk ijarah menawarkan suatu bentuk surat berharga yang fleksible dan marketable dibandingkan jenis sukuk lainnya. (Muhammad Fadlillah}

Berikut ini disajikan mengenai skema transfer manfaat atas aset yang telah tersedia. Pada saat perusahaan merencanakan untuk menerbitkan sukuk ijarah, perusahaan terlebih dahulu menetapkan aset yang akan diijarah-kan. Kemudian, perusahaan menjual manfaat aset kepada investor. Atas transfer ini, perusahaan memperoleh pembayaran lumpsum dari investor dan sebaliknya investor memperoleh sertifikat sukuk ijarah. Pada tahap ini, perusahaan dan investor menandatangani akad Ijarah, yang memposisikan perusahaan menjadi lessee dan investor menjadi lessor.

Selanjutnya, investor dan perusahaan menandatangani akad Wakalah, yang berisi bahwa investor memberikan kuasa kepada perusahaan atas manfaat aset underlying ijarah. Kuasa tersebut, digunakan oleh perusahaan untuk mencari end customer yang bermaksud untuk menyewa aset underlying ijarah. Hal ini dilakukan karena perusahaan memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan investor terhadap industrinya. Setelah menemukan end customer, perusahaan mentransfer manfaat aset underlying ijarah. Dalam tahap ini seakan-akan peranan perusahaan

adalah sebagai lessor mewakili investor dan end customer adalah sebagai lessee. End customer berkewajiban membayar penggunaan asset underlying ijarah. Pembayaran ini merupakan sumber kupon ijarah yang akan dibayarkan perusahaan selaku lessee kepada investor selaku lessor.

Skema sukuk ijarah semacam ini dijumpai di Indonesia khususnya transaksi sukuk ijarah PT Berlian Laju Tanker (BLT) Tbk. PT BLT Tbk menerbitkan sukuk ijarah untuk mentransfer manfaat kapal tanker kepada investor. Kemudian PT BLT Tbk membantu investor untuk

mencari end customer yang berminat untuk menyewa kapal tanker PT BLT Tbk tersebut. Dari transaksi dengan end customer tersebut, PT BLT Tbk memperoleh secara berkala, fee sewa yang diteruskan kepada investor sebagai kupon ijarah. Pada skema ini tidak digunakan SPV karena konsep SPV tidak dikenal dalam rezim hukum di Indonesia.

Pengurusan Haji

Bank melakukan pengurusan haji untuk kepentingan nasabah dengan memperoleh ujrah (imbalan jasa).  Dalam pengurusan haji, Bank dapat memberikan dana talangan pembayaran Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) dengan akad qardh. Jasa pengurusan haji tidak boleh dikaitkan dengan pemberian talangan haji.  Besarnya ujrah tidak didasarkan pada jumlah talangan haji.

 Pembiayaan Multijasa

Pembiayaan yang diberikan bank kepada nasabah dalam memperoleh manfaat atas suatu jasa. Dalam rangka pembiayaan multijasa tersebut, bank memperoleh ujrah (imbalan jasa).  Besarnya ujrah disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan prosentase.